Go Back

845 66 4
                                    

"Mas, ini serius apa nggak sih?" aku melangkah lebih cepat untuk mensejajari Mas Arlan. Kedua kakinya begitu jenjang sehingga meski kami melangkah dengan tempo yang sama, jarak yang dihasilkan cukup berbeda.

"Nggak mungkin kan kalau yang dipikiran Raya itu bener?"

Mas Arlan menoleh. "Kamu maunya gimana?"

Aku menggeleng. "Nggak tau," meski sedikit kesal karena dipaksa untuk meninggalkan lokasi pengabdian lebih cepat daripada yang direncanakan, itu tetap tidak menyurutkan rasa penasaranku.

Memang secara finasial Sabiru tidak perlu diragukan, tetapi tetap saja rasanya berlebihan kalau dia benar-benar menjemputku dengan helikopter milik ayahnya yang selalu disombongkannya itu. Meski itu tetap saja sangat mungkin terjadi, mengingat hanya karena nyeri haid dan masuk puskesmas saja, kakakku ini rela menggunakan waktu istirahat di sela-sela tugasnya hanya untuk menjemputku pulang. Benar-benar ajaib orang-orang di sekitarku.

"Kamu ke apartemen Bian dulu, nanti dijemput dari sana."

Aku menghentikan langkah, lalu menatap lurus ke arahnya. "Jadi beneran Biru jemput pake heli-nya?"

Mas Arlan mengangguk. "Dia lagi di Indonesia sekarang, dan katanya mau jemput langsung pas denger kabar kamu mau pulang."

"Kok nggak ada ngabarin?" aku masih skeptis. Rasanya masih terlalu lebay jika apa yang dikatakan kakakku itu benar terjadi. Tidak peduli berapa kali aku memikirkannya - lagi dan lagi.

"Bukan nggak ngabarin, tapi kamu yang nggak mau jawab panggilannya."

"Emang iya?" tanyaku. Lalu setelahnya Mas Arlan menyentil dahiku, seperti biasa yang dia lakukan ketika aku melupakan sesuatu.

"Menurut kamu kenapa dia bisa ngehubungin Mas kalau bukan karena kamu yang susah dihubungi?" Mas Arlan terdengar sedikit kesal.

"Mas di spam terus-terusan cuma karena kamu gak bales chat dia. Padahal chat Mas aja cuma kamu leave read aja."

Aku meringis, tentu karena semua yang dia katakan adalah kebenaran. Tidak bisa membantah satu pun kalimatnya karena fakta di lapangannya memang seperti itu. Aku mulai menikmati hari-hariku di desa, dan sangat jarang berhubungan dengan dunia luar seperti sebelumnya. Aku bahkan tidak selalu membawa ponsel, dan seringnya hanya menggunakannya untuk memberi kabar mama dan papa. Mengabaikan yang lainnya, termasuk kakak dan adikku sendiri.

"Kan aku sibuk, Mas. Gak sempet lah main-main HP."

Mas Arlah mendengkus, "Bales chat gak ada kai lima menit, Dek. Semua mah tergantung prioritas." Meski pendiam, ada kalanya Mas Arlan banyak bicara seperti ini. Mungkin karena kami hanya berdua saja, jadi dia lebih nyaman untuk mengekspresikan diri.

"Maaf deh, Mas. Raya ngaku salah."

"Nanti sebelum pulang, aku mau pamit sama temen aku dulu ya." Lanjutku meminta izin. Meski sudah berpamitan kepada teman-teman dan juga beberapa warga yang aku kenal, secara pribadi aku memang belum berpamitan dengan proper pada Sania. Dia adalah salah satu teman terbaik yang aku dapatkan dari perjalanan ini, jadi sudah semestinya untuk aku mengucapkan terima kasih dan beberapa kata perpisahan.

"Iya, nanti Mas tunggu di mobil ya." Responnya yang aku angguki.

Aku menepuk-nepuk pelan punggung Sania. Bahunya masih saja bergetar, tanda bahwa sedari tadi tangisnya belum juga berhenti. "Kita masih bisa ketemu lagi, San." Aku benar-benar tidak menyangka jika dia cengeng. Sania biasanya suka bersikap tegas, jadi aku still amaze ketika dia menangis pasca aku berpamitan.

"Kita masih tinggal di kota yang sama," kembali aku menenangkan. Mengingatkannya bahwa kami masih bisa bertemu kapan saja, sebab masih sama-sama tinggal di Jakarta.

"Janji ya, Ra." Aku mengangguk.

"Lo sehat-sehat ya di sini. Jangan lupa report ke gue soal kegiatan-kegiatan lo." Kini dia sudah bisa tersenyum, meski kedua matanya masih memerah karena insiden tadi.

"Kalau gitu gue duluan ya? udah ditunggu kakak gue." Pamitku. Namun sebelum benar-benar beranjak, kami kembali berpelukan untuk yang terakhir kali.

***

Aku menatap tajam seseorang yang ada di depanku. Dengan tatapan tajam yang sama, kami seolah sedang bertarung di medan peran dengan tatapan mata yang bisa menembus dada.

Dapat ku rasakan Mas Arlan memandangku dan juga Mas Bian. Sebentar-sebentar dia melirikku, lalu kembali melirik ke arah seberangku.

"Mau sampai kapan kalian gitu?" ujarnya jengah. Pasti sudah kesal karena dua di antara kami tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda ingin mengakhiri lebih dulu.

"Gue langsung balik ya kalau nggak ada yang mau dengerin."

Mendengar ucapan mengandung ancaman itu, aku lanngsung memprotes. "Mas Bian ngeselin banget, Mas. Harusnya dia minta maaf ke Raya."

Meski di luar aku adalah seorang perempuan dewasa, di mata mereka berdua aku tetaplah adik kecilnya. Mau mengeluh dan bersikap manja sekali pun, kedua orang itu pasti tidak akan terganggu.

"Gue ngapain? orang nggak ngapa-ngapain." Responnya tak terima.

"Gue malah baik karena mau nampung lo."

Aku mendengkus. "Gue juga gak mau kali balik ke sini kalau nggak terpaksa."

"Lagian lo kenapa sih, Mas, malah ngadu-ngadu?"

"Gue nggak ngadu ya, jangan sembarangan. Gue cuma jawab jujur aja pas Arlan nanya kondisi lo." Aku sudah bersiap membuka mulut, tetapi belum sempat sudah diinterupsi saja olehnya.

"Gini-gini gue anak baik ya, Ray, nggak suka bohong."

Mendengar kalimatnya aku ingin mengkonfrontasi. Namun melihat ekspresi Mas Arlan yang terlihat lelah, karena memang belum sempat beristirahat, aku menjadi tidak tega. Aku tidak akan membuat keributan sementara agar dia bisa beristirahat, sebelum satu setengah jam lagi akan dijemput temannya untuk kembali ke satgas.

"Udah ah, gue mau bersih-bersih dulu. Males ngobrol sama Mas Bian yang nyebelin." Aku beranjak dari sofa. Berjalan menuju ke arah salah satu kamar tanpa arahan si pemilik, sebab sudah tahu bahwa kamar yang akan aku tempati adalah kamar yang sebelumnya menemaniku ketika baru pertama kali menginjakan kaki di kota ini.

Semoga saat kembali sendiri seperti ini, aku sudah cukup mampu untuk mengatasi rasa sedih itu. Seorang diri.

Coffee LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang