Random Talk

612 59 4
                                    

Sejak ditinggalkan oleh Adhisa sekitar dua menit yang lalu, tidak ada yang bersuara di meja ini. Baik aku maupun Mas Angka, keduanya saling terdiam dengan pikirannya masing-masing.

"Na,"

"Mas," secara bersamaan, aku dan Mas Angka saling memanggil. Lalu kemudian saling diam lagi, sebab tiba-tiba merasa canggung. Entah untuk alasan apa.

"Lo dulu aja, Na." Ujarnya.

Aku mengangguk. Sebab jika menolak pun, dia pasti akan tetao memaksa agar aku menyelesaikan apa yang ingin aku katakan tadi. "Nggak ada yang penting, Mas. Cuma ngerasa lucu aja, karena lu ternyata kakaknya Adhisa."

Jujur aku memang merasa lucu dengan fakta ini. Di antara banyaknya kemungkinan yang bisa mempertukan kami berdua, alasan bahwa dia adalah kakak dari salah satu penulisku adalah hal yang tidak pernah masuk dalam kemungkinan itu. Makanya aku kaget, hingga tiba-tiba tidak tahu harus mengatakan apa ketika kami ditinggalkan berdua seperti ini.

Mas Angka tertawa. Sepertinya apa yang mau dia kawatakan juga tidak terlalu jauh dengan apa yang baru aku katakan. "Gue juga nggak nyangka, Na."

"Editor yang selalu dibangga-banggakan Adhisa di rumah ternyata adalah seseorang yang gue kenal."

Entah kenapa aku merasa malu. Mendengar fakta bahwa Adhisa suka memujiku di depan Mas Angka membuat pipiku memerah -semoga tertutcup dengan blush op yang tadi sudah aku sapukan di kedua pipiku. 

"Ah, beneran nggak nih? bukan sebaliknya?" mencoba menyembunyikan rasa salah tingkah, aku merespok pernyataannya. Seolah-olah tidak percaya bahwa Adhisa suka memuji-mujiku. Namun jika menilik dengan perlakuan ke belakang yang tidak pernah marah-marah, rasanya sangat mungkin jika anak itu memujiku.

Untunglah selama ini gue baik, jadi bisa menyelamatkan citra gue di depannya.

"Asli, Na."

"Bahkan dia juga selalu ngebangga-banggain semua tulisan lo, sampai ngoleksi semua buku yang udah lo terbitin." 

Semakin mendengar perkataan dari Mas Angka, aku semakin merasa malu. Padahal biasanya, aku sangat senang jika mendengar seseorang mengoleksi karya-karyaku. Namun untuk kali ini, ini adalah kasus penegcualian. Aku tidak ingin pembicaraan ini berlanjut dan dia memberikan fakta bahwa dia sempat membaca karya-karyaku yang semuanya bergenre romansa sedikit alay itu.

Semoga Mas Angka nggak baca karya gue, please!
Kalau sampai baca, gue udah nggak sanggup ketemu dia lagi.

"Bahkan beberapa kali gue juga dipaksa dia buat baca kalau lagi di rumah."

"Tapi lo nggak baca kan, Mas?" saking cepatnya reflekku untuk menjawab, Mas Angka sampai terkaget. Dia pasti tidka menyangka bahwa responku akan seheboh itu.

 Mas Angka diam, lalu kemudian tersenyum. "Baca,"

"Hah?" tanyaku kaget. "Lo baca novel gue?" tanyaku memastikan.

Sekali lagi Mas Angka mengangguk. "Coochocinoou, right?"

Omg!
Dia bahkan tau nama pena gue.

"Kok Mas bisa tau?"

"Ya kan gue baca  novelnya, Na. Termasuk siapa penulis dan pesan-pesannya di kata pengantar."

Ya Allah!
Gue malu banget.

Dia jadi tau betapa alaynya gue, padahal gue mau coba bangun image baik di depannya.

"Jangan dibahas deh, Mas." Pintaku akhirnya. Tidak sanggup untuk mendengar kalimatnya lagi, yang mungkin akan sangat membuatku malu. 

"Kenapa?" bukannya mengiyakan, dia justru penasaran. Terlihat seperti penasaran sungguhan kenapa aku tidak ingin membahas karyaku dengannya.

"Padahal gue lumayan suka sama yang judulnya Tingkat Dua. Kelihatan natural pendekatan tokoh utamanya."

Kenapa dia baca yang itu, Tuhan?
Kenapa dia baca kisah cinta anak kuliahan?
Apa dia nggak punya banyak kerjaan di kantornya.

"Gue bahkan sampai beli novelnya sendiri, Na. Gara-gara Adhisa udah nggak mau pinjemin lagi."

"Soalnya gue baru bisa baca pas sedikit longgar di kerjaan, jadi cukup lama." Jelasnya. Membuatku semakin dibuat malu, dan sedikit bangga karena laki-laki pintar di depanku ini membeli salah satu novelku.

"Alay banget nggak sih, Mas?'

Mas Angka mengernyit. Sepertinya tidak paham dengan maksud pertanyaanku.

"Novel gue yang Mas baca itu. Jalan ceritanya alay nggak sih? too much?" jelasku sedikit pelan. Pasalnya merasa malu dengan apa yang kami bicarakan ini.

Mas Angka menggeleng. "Nggak kok, lucu. Lumayan buat refreshing pas habis kerja."

"Sekalian nostalgia pas zaman kuliah."

"Emang pas zaman kuliah Mas kaya Radit?"

Ya Allah Raya, kenapa mulut lu sembarangan banget!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Coffee LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang