Aku melangkah yakin, melewati puluhan orang yang berlalu lalang di bandara. Dengan menyeret koper ukuran jumbo berwarna hitam di tangan kiri dan sebuah ransel mungil berwarna merah muda yang tersampir manis di belakang pundak aku melangkah tanpa keraguan.
Berjalan dengan anggun di atas sepatu sport putih kesukaanku tanpa ragu, dengan memakai cardigan berwarna abu untuk menutupi kaos putih pendek polos yang ada di dalamnya. Rambut sepanjang bahu dan poni manis yang menyamping aku biarkan tergerai setelah perjalanan yang lumayan menyenangkan karena bertemu dengan Mas Angka, yang ternyata amat sangat enak diajak ngobrol dan bercanda.
Anyway, sekarang aku tahu kenapa dia — aka Mas Angka sempat menganggap ku sebagai seorang dokter. Usut punya usut, ternyata di dalam pesawat yang aku tumpangi memang berisi beberapa dokter yang memang dipindah tugaskan dari ibukota ke sini. Dan sepertinya, ini adalah sebuah program khusus karena dokter-dokter ini berasal dari rumah sakit yang berbeda dan belum mengenal antara satu dengan yang lainnya. Mengapa aku bisa tahu? karena setelah keluar tadi aku melihat spanduk rombongan yang memang menjemput para dokter ini.
Aku mengedikkan bahu. Tanda tidak peduli dengan apa yang barusan aku lihat karena hanya bagian dari sebuah cerita perjalanan saja. Namun tetap harus aku akui ada satu cerita perjalanan yang cukup menarik, yaitu bertemu dengan Mas Angka.
Mas Angka adalah orang yang enak diajak ngobrol seperti Sabiru. Dia bahkan memiliki beberapa pembawaan yang sama dengan sahabatku itu sehingga rasa-rasanya aku yang sedang mengobrol dengannya seperti sedang bercerita banyak hal pada si tengil Sabiru itu. Namun seperti halnya kisah manis sebuah perjalanan, pertemuanku dengannya pun hanya akan menjadi sebuah kenangan.
Aku menghela nafas pelan. Menaikkan kacamata yang aku gunakan ke atas kepala, lalu meraih ponsel dari saku celanaku. "Mas, lo dimana?" aku menelpon Mas Bian aka sepupuku yang hari ini sudah diamanahkan untuk menjemput seorang Rayana di bandara. Namun daripada aku harus susah-susah mengedarkan pandangan untuk mencarinya, aku lebih memilih jalur cepat dengan menghubunginya dan mengatakan posisiku ada dimana agar dia yang datang langsung padaku. Ya benar, aku memang kadangkala semenyebalkan ini!
"Kalo jalan liat depan, Ya. Jangan nunduk!" Alih-alih merespon pertanyaanku, dia justru mengatakan agar aku berjalan dengan menghadap ke depan.
Aku menghentikan langkah tiba-tiba. Jika dia menginstruksikan ku seperti ini itu artinya dia sudah melihatku kan? pikirku setelah sekian lama. "Dimana, Mas?"
"Arah jam tiga!" Jawabnya yang langsung membuatku menoleh ke arah yang dimaksudkan.
Aku melambaikan tangan ke atas, tanda bahwa aku sudah menemukan keberadaannya itu. "Mas yang ke sini ya..." Mohon ku sembari tersenyum manis padanya. Dibandingkan melangkah sembari menarik koper yang tidak terlalu berat, lebih baik aku menunggu di sini dan membiarkannya menarikannya untukku kan? lagi-lagi pikirku begitu cerdik.
Aku mengembalikan kacamataku ke tempat semula. Melalui kaca mata hitam ini aku akhirnya aku lebih leluasa menyapukan pandangan ke sekitar. Sembari menunggu Mas Bian yang semakin mendekat, bibir mungil yang dilapisi lip balm saat sebelum turun dari pesawat itu merekah kala mendapati lalu lalang banyak orang yang terlihat begitu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Ya, semoga suasana baru bisa membantuku mengikhlaskan luka lama yang menjadi alasan terbesarku untuk datang ke sini.
Ku lepaskan pegangan pada koper saat laki-laki berkemeja ini semakin mendekat padaku. "Kangen...." Ucapku dengan jarak masih dua jengkal di depan laki-laki tersebut.
Mas Bian dihadapan ku mendongak, lalu menyunggingkan senyumnya. "Dasar manja!"
"Biarin!" Jawabku membalas cibirannya dengan singkat.
Aku melangkah ke depan untuk merengkuh leher laki-laki yang langsung menunduk untuk membalas pelukanku, sementara aku tersenyum di balik pelukannya, kurasakan laki-laki itu juga tertawa pelan kemudian melepaskan diri untuk membiarkan dirinya menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kejelasan maknanya.
"Yakin mau mengasingkan diri di sini?" tanyanya dengan wajah cukup serius.
Aku tidak tau Mas Bian sebenarnya sedang merasa simpati, empati, atau bahkan kasihan terhadapku. Yang aku tahu pasti dia tau permasalahan ku soal Arfian, makannya melontarkan kalimat semacam itu barusan.
Aku mengangguk. "Sure."
Lalu tanpa kembali bertanya ia mengambil alih koperku sebelum kembali berkata, "Ayo cepet. Gue udah laper nungguin lo yang nggak dateng-dateng!" Tukasnya sebelum akhirnya langsung berjalan meninggalkanku.
Aku mendengkus lalu berjalan menyusulnya dan meninju bahu lelaki itu dengan main-main. "Makan ayam geprek ya, Mas. Gue mau yang pedasnya level setan." Aku memintanya agar makan siang kali ini menunya menyesuaikan keinginanku.
Mas Bian hanya menoleh, lalu tersenyum saat menyadari bahwa aku — mungkin sudah terlihat baik-baik saja di matanya. Dia lalu mengacak gemas puncak rambutku sebelum kembali berjalan dan membawanya keluar bandara.
Aku terdiam beberapa saat sebelum memutuskan mengimbangi langkahnya. Menarik napas panjang dan memutuskan untuk lepaskan perasaan berat menyesakkan dada yang menjadi alasan paling krusial mengapa aku bisa menapakkan kaki di tempat ini sekarang.
Aku akan baik-baik saja, batinku seraya melingkarkan satu lenganku pada lengan laki-laki di samping. "Mas Bian makasih. Gue sayang lo..."
![](https://img.wattpad.com/cover/264997178-288-k956249.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
ChickLitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...