Bangun pagi adalah hal sederhana yang sudah lama aku lewatkan. Terbiasa dengan jam tidur yang berantakan, aku tidak punya waktu yang jelas terkait jam yang tepat untuk bangun tidur.
Mostly, aku tidur jika mata sudah tidak kuat untuk begadang. Aku tidur — hampir setiap harinya, setelah jam menunjukan lebih dari tengah malam. Entah itu jam satu, dua, atau bahkan menjelang shubuh. Apalagi sejak aku tinggal sendirian di apartemen, jam istirahatku pun ikut menjadi-jadi. Be.ran.ta.kan.nya!
"San!" Aku mengguncang tubuh Sania perlahan. Kedua matanya masih terpejam erat, tanda bahwa sang pemilik masih belum kembali ke dunia nyata. "Udah adzan, San," lanjutku menambahkan.
Di hari kedua menjalani kehidupan sebagai seorang relawan, aku ingin menjadi lebih produktif. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk memberikan manfaat pada orang lain dengan melakukan banyak hal yang memang ingin aku lakukan.
First of thing nya, aku memutuskan untuk bangun pagi dan memulai hari sebelum matahari terbit. Kata orang bangun pagi membuat seseorang lebih semangat, dan tentu saja aku ingin membuktikannya. Bangun pagi dan pergi ke masjid, sesuatu yang tidak pernah aku lakukan ketika tinggal di ibu kota.
"Jam berapa, Ra?" tanya Sania padaku. Kedua matanya perlahan membuka, lalu dilanjutkannya dengan mengucek-uceknya.
"Jam setengah 5," jawabku memberitahu.
Setelah menimang baik buruknya, aku memutuskan untuk mengorbankan Sania. Membuatnya ikut bangun pagi setiap hari dan menumbalkannya untuk kesuksesan misiku ini.
"Masjid yuk!" Ajakku bersemangat.
Jika orang rumah tau bahwa aku sengaja bangun pagi untuk sholat jamaah di masjid, rumah pasti akan heboh. Bahkan mama bisa langsung mengadakan tasyakuran karena ini adalah hal langka yang patut untuk disyukuri.
Sania memandangku dan memicing curiga. "Kenapa?"
Dahiku mengernyit heran, "Kenapa?" bukannya menjawab pertanyaan, aku justru melempar balik pertanyaan darinya.
"Ya itu, lo kenapa tiba-tiba ngajakin sholat di masjid?" tanyanya curiga.
Meski baru bersama satu hari, sepertinya Sania sudah paham bahwa aku bukan tergolong muslim yang taat. Aku mengakui, memang benar aku seperti itu. Bukan muslim yang taat, meski tetap berusaha untuk tidak meninggalkan lima waktu yang memang sudah menjadi kewajiban. "Ya Allah, San. Ke masjid aja ditanya kenapa, ya pengen sholat jamaah aja di sana. Mumpung masjidnya gak jauh,"
Sania bangkit dari tidur terlentangnya, lalu kembali menatapku. Menghela napas sebelum akhirnya berujar, "Ya udah bentar, gue ambil wudhu dulu."
"Ibu sudah berangkat?" tanyanya lagi.
FYI, ibu yang dimaksud Sania adalah induk semang kami. Istri dari Pak Amin, pemilik rumah dimana tempat kami tinggal sebulan ke depan. "Udah. Tadi gue bilang duluan aja, soalnya mau bangunin lo,"
Sania mengangguk, lalu tak lama kemudian bangkit dan menuju ke kamar mandi. "Bentar ya, gue sikat gigi sekalian wudhu."
"Jangan lama-lama," ujarku sebelum di berlalu dan menghilang di balik pintu.
***
"Gue baru sadar, gue gak inget kapan terakhir kali gue sholat wajib di masjid." Curhatku pada Sania, saat kami duduk di pelataran masjid untuk menunggu Bu Amin yang masih berdoa di dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
Chick-LitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...