Hallo!

925 86 4
                                    

Communication to a relationship is like oxygen to life.
Without it .... it dies

- Tony Gaskins -


One the craziest things is that the government cannot lay off incompetent employees like private companies can. I believe that all policies in law are very good. I believe that every programs from the related ministry are very good also. But the implementation from these policies depends heavily in the people executing them, especially at the provincial and city. As long as the recruitment system is not based on competence and relying on acquaintances or family, we will always be fucked up.

Aku menghela napas lelah. Rasanya begitu miris ketika aku, orang yang bahkan tidak begitu peduli dengan politik akhirnya memutuskan untuk ikut bersuara. Ikut merasakan bahwa semuanya sedang tidak baik-baik saja, dan membutuhkan perubahan untuk kembali ke jalan yang seharusnya. 

"Sedih banget gak sih lihat berita kaya gitu terus?" tanyaku pada laki-laki yang beberapa hari ini tidak pernah absen aku temui. Kebetulan semua agendanya di sini memang hanya liburan, jadi semua yang dia lakukan juga hanya mengangguku. "Tapi yang lebih bikin sedih karena sadar kalau gue juga gak bisa apa-apa."

Sejauh ini, aku adalah tipe orang yang tidak dipeduli dengan urusan di luar diriku. As a talked before  kalau aku cukup oportunis, biasanya aku tidak akan menganggap penting hal-hal yang tidak berkaitan langsung denganku. Namun untuk kali ini aku ingin berpartisipasi, sekecil apapun yang aku bisa lakukan. I really want to take a part in this fucking situation.

"Kata siapa nggak bisa apa-apa? dengan lu ikut speak up aja udah ngebantu, Ya. Itu bentuk awarness sekaligus reminder buat orang-orang yang mungkin belum aware." Meski terlihat sibuk dengan tab yang ada di tangannya, yang ketika aku intip adalah sebuah games, Biru tetap merespon pernyataanku. Padahal aku pikir dia tidak mendengar, sebab sedari tadi hanya menunduk dan tidak menoleh sedikit pun padaku. 

"Kalau lo nggak bisa ikut turun langsung, ya lo bisa ikut meramaikan di sosial media." Lanjutnya. Lalu berikutnya mengumpat karena sepertinya telah mati di games yang sedang dimainkannya.

"Lo juga bisa bantu bagi-bagi makanan buat mereka yang turun langsung buat aksi,"

Aku menoleh ke arah sahabatku itu. Aku kira dia tidak akan mengatakan apapun lagi setelah kesal dengan permainnya, tetapi justru malah melanjutkan lagi. Sepertinya dia juga tertarik dengan topik yang aku bicarakan. "Ide bagus tuh, Ru. Yuk!"

Dia menoleh dan mengernyitkan dahi. "Yuk apa?"

Aku mendengkus. "Ya itu, bagi-bagi makanan buat mahasiswa."

"Ya sana, ngapain ajak gue?"

"Kan lo donaturnya, Ru." Ujarku meringis. "Gue kan duitnya masih terbatas, apalagi bentar lagi ngurus administrrasi buat sidang." Lanjutku menambahkan. Meski sudah bekerja dan tinggal memisahkan diri dari keluarga, tetap saja uangku tidak begitu banyak. Jadi bukannya pelit dan tidak mau berbagi, aku hanya ingin memilih pilihan yang lebih memberikan keuntungan.

"Kan yang mau berpartisipasi bukan gue, tapi lu, Ya."

"Ngapain jadi gue yang jadi donatur?" tanyanya heran.

"Kan lo masih jadi warga sini, Ru. Ya kali nggak ada rasa nasionalismenya."

"Gue kan udah lama nggak tinggal di sini. Gue udah pindah."

Aku memutar otak, harus menemukan alasan agar dia mau mengeluarkan uangnya yang banyak itu. Sebab kalau sudah ada niat, dia pasti akan memberikan dalam julah yang besar, mengingat dia adalah orang yang royal. "Lo belum pindah kewarganegaraan kan?" dia mengangguk.

"Keluarga besar lo masih banyak yang di sini kan?" lagi-lagi dia mengangguk.

"Ya itu dua alasan kenapa lo harus ngeluarin duit lo, Ru. Solidaritas lah, at least buat keluarga besar lo yang bakal kena dampak langsung."

Biru terdiam, sepertinya sedang memikirkan perkataanku. "Emang iya?"

Aku mengangguk cepat. "Iya."

"Lo nggak perlu khawatir repot kok. Lo tinggal transfer ke gue, ntar semuanya gue yang urus."

"Ntar gue juga bantu branding di sosmed deh, biar citra lo makin baik." Lanjutku. Kebetulan dia memang orang yang suka pamer dan haus pujian, jadi aku akan memanfaatkannya.

"Hm, ide yang bagus. Boleh deh." Dan jawaban darinya berhasil membuatku menarik kedua sudut bibir. Kena lo!


***


"Udah di sini aja, jangan deket-deket. Takut chaos." Ujar Biru. Mencoba menghentikanku yang ingin mendekat dengan mereka yang sedang berorasi. Bahkan seolah tau dengan apa yang akan aku lakukan, dia mencekal pergelangan tangan kiriku.

Aku menoleh. Adrenalinku rasanya terpacu. Ingin bergabung dan ikut menyuarakan pendapat seperti yang pernah aku lakukan beberapa tahun lalu ketika baru masuk kuliah.  

"Tadi janjinya apa?" dia kembali mengingatkan. Tidak boleh terlalu dekat dengan kerumunan karena takut akan adanya kericuhan.

Tentu aku sadar dengan apa yang dia katakan. Aku juga tidak bisa menyalahkannya karena mencegahku ikut langsung. Setiap orang punya jalan yang berbeda dalam berjuang, sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.

"Oke," jawabku lesu, sebab tidak bisa membantah juga karena dia sudah membantuku izin kepada keluarga. 

Toh meski aku tidak bisa bergabung, aku masih bisa mendukung dengan menyediakan konsumsi bagi mereka. "Iya, di sini aja." 

Aku dan Biru mulai berdiri di pinggir jalan, dengan dibantu oleh tiga orang dari vendor yang kami sewa. Tentu uang bukan masalah baginya, jadi kami bisa menyediakan minum, nasi kotak, dan bahkan beberapa camilan. 

Saat aku masih sibuk untuk membagikan makanan, tiba-tiba suara panggilan seseorang berhasil menghentikan kegiatanku. "Na?"


Coffee LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang