Sedih nggak sih belum 20 komen tapi udah update lagi?
Selamat membacaBig lie kalau ada orang yang bilang tertarik pada seseorang karena kepribadiannya di pertemuan pertama. Hal ini amat sangat tidak bisa dipercaya karena tidak ada alasan yang rasional tentang bagaimana seseorang bisa mengetahui kepribadian orang yang baru ditemuinya itu.
People are driven by their sight. Manusia itu dikendalikan oleh pandangannya. Hal yang indah dan terlihat dari luar tentu akan lebih menarik daripada hal yang mungkin lebih indah tetapi tidak terlihat. Paras yang tampan atau cantik akan jauh lebih menarik daripada yang biasa (we're talking about normal people cause there are always anomalies). Namun dalam tahapan selanjutnya, ketika terjadi interaksi terus menerus antara dua orang, maka akan sangat mungkin bahwa pandangan salah satu atau keduanya akan berubah. Diiringi dengan perubahan sikap sebagai akibat apakah respon lawan bicaranya itu menarik hatinya atau tidak.
Secara bertahap, ketertarikan seseorang akan berubah dan bergeser. Bisa menjadi lebih tertarik, atau justru sebaliknya. Bisa lebih tertarik karena sikap dan perilaku sesuai yang diharapkan, atau justru menjadi lost respect karena sifat aslinya sangat jauh dari bayangan. No one knows, because everything about someone is very unpredictable.
"Kok Mas diam?"
Mas Angka mengernyitkan dahi. "Memang harusnya ngapain?"
Iya benar. Memang harusnya ngapain?
"Ya nggak ngapa-ngapain sih," jawabku akhirnya. Pasalnya aku juga tidak tahu apa yang mestinya dia lakukan, apalagi setelah melihat orang-orang di sekelilingku yang satu persatu juga menuju ke pinggir lapangan untuk beristirahat. Membuatku dan dia yang memang sudah ada di pinggir lapangan untuk meletakan bidai darurat menjadi tidak aneh, sebab orang-orang lainnya juga sedang menuju ke tempat kami berdua berdiri.
"Lo lucu banget, Na."
Perasaanku rasanya menghangat. Namun sepertinya efeknya ada di kedua pipiku, yang mungkin berubah warna kemerahan karena pernyataannya barusan. Lo nggak boleh baper sama sembarangan orang, Rayana. Apalagi tujuan lo kesini bukan untuk mencari cinta yang baru. "Kalau itu, gue udah sadar dari dulu, Mas."
Mas Angka menunduk dan menatap ke arahku. "Selain lucu, lo juga punya tingkat kepercayaan diri yang tinggi ya? bagus-bagus," dia mengangguk-anggukan kepalanya.
Aku merespon ucapannya dengan kekehan. Kesadaranku sudah kembali, dan aku siap memulai obrolan kembali dengan laki-laki di hadapanku ini. Aku sudah menata hati dan memastikan tidak akan membawa perasaan, sebab belum tau bagaimana personality Mas Angka sebenarnya. Aku tidak mau terjebak dengan perasaan yang tidak jelas, jadi mulai sekarang akan menanggapi segala yang dia lontarkan sebagai suatu hal yang biasa. We are friends, and I can't take my heart into every our conversation. "Ini namanya self love, Mas."
"Anyway, gue bener nanya sungguh-sungguh loh. Lo emang nggak ada kegiatan lain stay di sini?"
"We're taking a break, right?"
Aku mengangguk. "Sure. You don't have any plans to eat with your friends, do you?"
Mas Angka menggeleng. "I don't have an appointment with anyone."
"Do you want to have lunch together, Na?"
"Hmmm," aku tidak langsung mengiyakan karena sedang berpikir. Makan siang bersama bukan lah hal yang aneh bagi sesama teman. Namun entah kenapa, akal sehatku menyuruhku untuk menolaknya. Semua sikapnya belum bisa kuartikan dengan jelas, jadi aku tidak berniat untuk memperumitnya.
"Kayaknya gak bisa deh, Mas. Gue udah janjian sama Sania." Akhirnya aku menuruti apa kata pikiranku. Meski hatiku menyayangkan keputusan itu, aku pribadi tidak menyesal. Don't be lulled by feelings of happiness for a moment because it might also destroy you just as quickly.
Mas Angka mengangguk. "Jadi gue ditolak ya?"
Aku tertawa. "Bukan ditolak, Mas. Cuma gue udah terlanjur janji sama orang lain." Aku tahu dia hanya bercanda, jadi aku juga menjawabnya dengan diselipi candaan. "Namanya janji, jadi harus ditepati."
"Atau lo mau join?" tawarku. Namun diam-diam berharap bahwa dia akan menolaknya.
"Nggak deh, Na. Makasih buat tawarannya, tapi gue gak mau ganggu girl time kalian berdua."
"Oke deh."
"Kalau gitu gue duluan ya? soalnya gue udah janji bakal jadi orang yang nyamperin," sebenarnya aku tidak berjanji seperti itu. Tadi pagi kami hanya berjanji untuk makan siang berdua, tanpa embel-embel bahwa aku yang akan mendatangi dia - Sania. Namun karena situasi sudah begini, aku memanfaatkannya untuk melarikan diri dari hadapan Mas Angka. Sosok laki-laki yang belum bisa kuraba bagaimana sifat aslinya, meski secara fisik sudah tidak perlu diragukan kualitasnya.
***
"San, menurut lo Mas Angka orangnya gimana?" di sela-sela makan, aku melontarkan pertanyaan itu pada Sania. Aku butuh memvalidasi pikiranku untuk mencegah semakin liarnya pemikiran-pemikiran aneh yang ada di dalam otak. Aku butuh pandangan seseorang untuk memastikan apakah sikap yang ditunjukkan Mas Angka itu normal, atau dia memang ada ketertarikan padaku seperti yang aku pikirkan.
Sania mendongak dan menatap ke arahku. "Konteks?" tanyanya.
"Secara look atau personality-nya?"
"Both of them," aku mengupas jeruk yang memang terdapat di dalam sekotak nasi makan siang kami. "Kalau secara fisik kayaknya semua orang punya pendapat yang hampir sama, tapi gue juga pengen denger pendapat dari lo."
"Nggak usah ngeledek ya, gue gak ada maksud apa-apa." Melihat wajah Sania yang sudah berubah tengil, aku memperingati. Memberitahunya bahwa aku tidak ada maksud apa-apa, meski sudah tahu bahwa dia tidak akan percaya.
"Iya-iya, percaya gue." Ujarnya. Tentu aku tidak membantah, meski kami berdua sama-sama tahu apa bahwa ucapan diantara kami barusan tidak ada yang dapat dipercaya.
"Cakep, kaya apa yang lo bilang tadi. Tipe-tipe cowok yang emang punya daya tarik besar," mulainya memberi jawaban. "Kalau soal sifatnya, gue rasa dia juga kayaknya orang yang baik, Ra."
"Bisa lebih spesifik nggak, San?" aku butuh kalimat penjelasan lain dari sekedar baik. I need her to explain about the statement 'baik' that she mentioned before. What does she mean about that word.
"Ya baik kaya orang pada umumnya. Ramah dan suka nolong orang, soalnya beberapa kali gue sempet lihat dia ngebantuin para relawan yang kesusahan mindahin barang." Lanjutnya. Membuatku sedikit tersadarkan akan fakta bahwa seorang Angkasa memang senang menolong orang lain, bukan hanya menolong seorang Rayana.
"Gue kepedean nggak sih kalau ngerasa dia interest sama gue?"
Sania terlihat kaget. "Kenapa lo sampai bisa ngerasa kaya gitu?"
Aku menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. "Tadi pas gue mau mindahin bidai, dia langsung lari buat ngebantuin gue bawain."
"I know that he also helps other people, but I feel it different," cepat-cepat aku melanjutkan kalimatku karena melihat Sania yang sudah ingin menjawab. "Dia juga muji gue lucu, dan bahkan nawarin makan siang bareng."
"Dia selalu ada saat gue kesusahan,"
Sania terdiam, terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. "Bentar, Ra. Gue bingung."
"I can't to make it clear karena beberapa kali gue juga ngeliat dia berbuat baik sama orang lain. He always looks worried about everyone. Jadi gue belum bisa mengambil kesimpulan apapun. Apalagi kita juga gak tau background-nya dia kaya gimana."
Aku masih diam karena tahu bahwa dia belum selesai berbicara. "Cuma kalau dari cerita lo, gue juga ngerasa kalau semua yang dia lakukan itu menunjukkan bahwa dia tertarik sama lo."
"Jadi abu-abu kan?" balasku, yang kemudian langsung diangguki oleh Sania.
"Nggak bisa ngambil kesempatan karena kita belum tau dia orangnya sebenarnya kaya gimana, kan?" tanyaku lagi. Kembali lagi juga diangguki oleh Sania.
So am I misunderstanding or not?
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Love
ChickLitBaru saja mengucap salam, bola mata ku hampir keluar dari tempatnya. "Mas Angka?" ujarku saat melihat sesosok laki-laki yang pernah aku temui ketika dalam misi melarikan diri akibat putus cinta. "Mbak Raya, kamu kenal sama Pak Wali Kota?" Hah? Gima...