Danger Sign

933 80 17
                                    

Setelah melakukan perdebatan sengit yang dibumbui dengan berbagai macam ancaman, akhirnya aku bisa bernapas lega. Mas Bian cukup kewalahan untuk membantah segala argumen-argumenku sehingga dengan berat hati membiarkanku pulang - kembali ke rumah Pak Amin dan melanjutkan kegiatan relawan ku yang masih tersisa beberapa hari lagi.

Senyumku masih merekah lebar ketika Mas Bian sedang sibuk dengan berbagai barangku selama dirawat inap di rumah sakit. Hari ini aku akan pulang sehingga perlu untuk membereskan segala hal. Baik urusan administrasi maupun non administrasi seperti membawa pulang beberapa barang - read dua potong baju yang hanya aku gunakan satu saja.

"Lo beneran masih sanggup?" aku yang masih sibuk dengan gawai di tangan mendongak. Menatap ke arahnya yang masih menunjukkan ekspresi tidak terimanya.

Aku mengangguk, tentu saja. "Iya, Mas."

"Lagian lo udah setuju kan tadi?" suara hela napasnya terdengar. Membuatku diam-diam bersyukur karena dia memang se peduli itu dengan kondisi diriku. Namun terkadang, kepeduliannya juga sangat merepotkan.

"Kalau sakit lagi gimana?"

"Gak bakal," jawabku cepat. Bahkan tanpa berpikir lagi, dengan yakin jawaban itu meluncur manis dari mulutku.

"Kata siapa?" responnya tak mau kalah. "Sakit gak ada yang tau."

Aku menatapnya dengan memicingkan kedua mata. "Jadi lo doain gue sakit lagi?"

Mas Bian kaget. "Ya bukan begitu maksud gue," dia melangkah mendekat hingga berdiri di sisi ranjang yang kini aku duduki. "Lo beneran mau balik lagi ke desa?"

"Gak mau mikir sekali kali?" pintanya. "Nanti gue bilangin Rifan buat urus semuanya. Jadi lo gak perlu khawatir."

"Mas ...." Panggilku dengan nada rendah. "Tadi udah deal kan?" tanyaku sembari mengingatkan. Membuat Mas Bian akhirnya tidak melanjutkan perdebatan karena teringat dengan kesepakatan yang sudah kami kompromikan bersama.

"Iya. Tapi harus hati-hati ya. Jangan kecapean." Nasehatnya. "Keluarga lo udah nitipin lo ke gue, jadi tanggung jawab lo waktu di sini sepenuhnya di gue."

Aku mengangguk dan tersenyum. "Iya, Mas. Terima kasih."

"Gue langsung ya?" setelah memastikan bahwa aku tiba dengan selamat dan tanpa kekurangan, Mas Bian izin pulang. Dia tidak bisa mampir lebih lama karena memiliki kesibukan. Aku juga tidak ingin ditunggui olehnya karena sudah lelah akibat dia yang amat sangat berisik. Memperlakukanku bak anak kecil yang semua hal yang dilakukan perlu untuk dikasih tau lebih dahulu.

"Jangan aneh-aneh di sini. Ngga usah ngelakuin aktivitas yang berat-berat." Dibandingkan kakak sepupu, dia terlihat seperti kakak kandungku sendiri. Bahkan dibandingkan dengan Mas Arlan yang tidak banyak bicara, dia jauh lebih sering memberi nasehat. Mungkin karena kami sempat tumbuh bersama selama beberapa tahun di tempat nenek, atau mungkin karena sifatnya yang memang seperti itu. Entahlah!

"Iya Mas ku sayang, iya. Gue udah masukin semua nasehat lo ke dalam kepala kok. Aman." Ujarku meyakinkan. "Lo nggak perlu khawatir, santai."

Mas Bian tersenyum, lalu mengacak pelan rambutku. "Ya udah sana istirahat. Gue pergi dulu."

***

"Lo beneran gapapa, Ya?" ini adalah pertanyaan ketiga dalam lima menit terakhir. Pertanyaan yang dilontarkan Sania karena aku bersikeras untuk ikut pembelajaran di tengah lapang mengenai survival technique yang akan dibantu oleh para tentara, juga first aid yang ajan dibantu para tenaga kesehatan.

"Ini bakalan ada banyak aktivitas dan ngeliatin banyak orang juga, takutnya lo kecapean." Dia memperingati. Membuatku tertawa karena tingkah khawatirnya yang berlebihan seolah membuatku seperti orang yang terkena penyakit berat. Padahal hanya seorang penyintas nyeri haid yang dirawat inap semalaman di puskesmas terdekat. Ini gue yang terlalu menyepelekan keadaan atau mereka yang terlalu lebay ya?

"Aman, San. Lo gak perlu khawatir, gue udah sehat kok." Sania masih menatapku, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.

"Ya udah. Tapi jangan panas-panasan." Aku mengangguk senang. Seperti seorang bocah yang baru saja diberi kesempatan jajan oleh orang tuanya.

"Gue ke sana dulu ya..." karena kedua pembelajaran yang diajarkan hari ini membutuhkan orang-orang yang memang ahli di bidangnya, relawan sepertiku hanya bertugas untuk membantu. Membantu mengarahkan anak-anak untuk memperhatikan, juga membantu mempersiapkan berbagai peralatan yang dibutuhkan. Makanya aku dan Sania juga berpisah, sebab kami bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain sesuai dengan kelompok mana yang sedang membutuhkan tambahan pekerja.

"Na?" suara seorang yang memanggil terdengar di telinga. Aku yang sedang memindahkan beberapa potong bidai darurat yang baru digunakan untuk praktek penanganan pertama patah tulang pun menghentikan aktivitas untuk sekedar melihat siapa sosok yang sedang memanggil. Meski dari dua huruf yang dia lontarkan itu, aku sudah bisa menebak siapa sosok yang ada di baliknya.

Baru saja menoleh, Mas Angka langsung berjalan cepat ke arahku. Lalu mengambil tumpukan bidai dari kedua tanganku dan berujar. "Kenapa malah mindahin bidai, Na? ini kan berat."

Aku mengernyitkan dahi heran. "Nggak seberat itu kok, Mas. Masih aman." Memang tidak berat, paling hanya dua kilo saja - itu pun aku tidak yakin. Sebab aku hanya menumpuk lima buah saja.

"Tapi lo kan baru sembuh, Na." responnya sebelum membenarkan letak tumpukan bidai di tangannya. "Ini mau dibawa ke mana?" belum juga aku menjawab pertanyaan yang sebelumnya, dia sudah kembali melontarkan pertanyaan.

Aku menunjuk arah pinggir lapangan, lalu berjalan pelan mengikuti langkahnya yang menuju ke arah yang tadi aku tunjuk. "Kenapa sih semua orang mengganggap gue penyakitan, Mas? padahal gue udah gak kenapa-kenapa loh." aku tidak terima dengan perkataannya jadi mengutarakan protes.

"Gue bukan cewek lemah," lanjutku mengeluh.

Mas Angka terkekeh mendengar keluhanku. Dia juga menoleh, dan membuatku sempat terdiam karena melihat lesung pipi yang baru ku sadari keberadaannya. "Bukan lemah, Na. Cuma nggak ada yang salah kan buat jaga-jaga?"

"Jangan ngelamun," tepat setelah perkataannya itu, aku kembali tersadar. Bahaya banget ya Allah cowok friendly abis!


20 komen baru next ya!

Coffee LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang