3.4 Page of 365

1.2K 133 12
                                    

Now, it's time to say good bye

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Now, it's time to say good bye


" Kalau kita udah kaya, rumah ini dijual apa enggak ya buk??"

Jovi geleng-geleng kepala, begitupun dengan ibuk yang tertawa kecil ketika si anak bungsu bertanya dengan begitu polosnya.

" Emang kamu rela ninggalin rumah ini??"

" Ya enggak juga sih,"

"Yaudah nanti kalo kita pergi kamu aja yang sendirian disini,"

Jeje merengut kesal, selalu saja setiap ia bertanya akan dijawab sembarangan oleh si Jovi. Iya ia sudah berani memanggilnya tanpa embel-embel ' abang ' kalau Jovi sudah se menjengkelkan itu.

" Dijual atau enggak itu terserah, kan yang terakhir menempati juga kalian,"

Belum sampai tegukan teh terakhirnya menyentuh tenggorokan, Jovi urungkan begitu saja membuat cipratan air menghujani wajah Nana yang kala itu baru saja duduk.

" ASTAGFIRULLAH AIR TERJUN, JOROK ANJ-

Nana menghentikan ucapannya segera, sedetik setelah ibu menatapnya tajam-tajam. Mungkin batinnya," Nana benar anak kita pak?? Kok misuh-misuh gitu?"

" Hehehe bang Jovi nih buk yang duluan,"

" Kok kita yang terakhir nempatin ni rumah??"

" Bapak mau kemana sama ibuk??"

" Ngga kemana-mana, emang kenapa??" Bapak datang dengan bau semerbak parfum roll onnya yang seperti bau kuburan kalau kata Nana. Duduk diantara Jeje dan ibuk yang sedang asik memilah-milah daun bayam.

" Gapapa cuman tanya doang. Kalo kalian pergi Jovi ikut juga,"

Nana mendengus sebal, merasa kehadirannya tak dianggap diantara orang-orang dewasa ini. Apalagi melihat Jeje dengan raut muka masamnya mencabuti uban pada rambut bapak . Seperti wajah-wajah romusha yang dipaksa bekerja membangun jembatan. Miris sekali nasib si anak bungsu.

" Kalo bang Jovi ikut, Nana juga ikut lah. Enak aja ditinggal sendirian,"

Jeje menyahut, setelah satu uban berhasil ia cabut dari rambut bapak, bersamaan dengan beberapa rambut hitam yang ikut tertarik. Tanda ia tak ikhlas.

"Jeje juga"

"Ikut-ikut aja sih, mandiri lah. Nanti yang jagain rumah siapa kalo kalian ikut?? Kecoanya si Echan??"

Jeje memutar bola matanya malas, sudah cukup ia badmood perkara uban, jangan lagi Jovi membuat darah tingginya naik.

" Ya kitalah, abang jangan kemana-mana mangkannya,"

Nana tak merespon, masih sibuk dalam pertanyaannya sendiri. Setelah hanya ikut-ikutan menimpuk pembicaraan tanpa tahu apa yang dibahas.

"Memangnya mereka mau kemana??" batinnya

♤♤♤

Andai saja hari ini hujan tak datang, mungkin Nana tak akan berdiam diri di rumah. Harusnya ia pergi keluar, entah hanya untuk berjalan-jalan ataupun pergi dari rumah sebentar saja meski tanpa tujuan.

Untuk pertama kalinya, rumah terasa tak semenyenangkan ini. Jika setiap hari ia betah di sana bahkan enggan untuk keluar, namun beda lagi untuk akhir-akhir ini. Berada di rumah sedikit membuat hatinya berdenyut kembali.

Merasakan suasana di rumah seolah Jovi masih ada di sana. Bertiga di ruang tamu hanya untuk sekedar mengobrol atau menikmati camilan yang Nana buat. Lalu tidur bersama dalam satu ranjang setelah bercerita tentang hal-hal kecil atau hanya sekedar untuk menakuti Nana tentang hantu tetangga sebelah.

Mungkin benar kata bapak dulu," seseorang bisa pergi, namun kenangannya tak bisa dilupakan begitu saja,"

Nana ingin menangis, semua hal mengingatkannya tentang Jovi. Tentang teras rumah dimana mereka selalu berkumpul bertiga di sana, dapur yang menjadi tempat mereka memasak bersama kala itu, atau bahkan ruang tamu tempat mereka bersenda gurau.

Andai waktu bisa diputar, Nana tak akan berharap untuk Jovi bisa sembuh. Ia hanya ingin, akan lebih banyak waktu lagi untuk kembali mengenang masa-masa indah mereka.

Karena ia tahu, takdir seseorang memang tak akan pernah bisa dirubah.

Ia tersenyum nanar, terduduk di kamar sendirian. Memandang lekat hal-hal di dalam sana. Sampai ia menemukan sekotak kardus besar berada di bawah ranjang tempat tidurnya.

Kardus yang cukup berat, entah apa isinya Nana tak pernah tahu itu. Lantas ia membuka perlahan lembaran koran-koran yang memang sengaja digunakan untuk menutupi,

Netranya menatap lekat kotak yang baru saja dibuka, ia terdiam sejenak,

Dan pada detik itu Nana menangis kembali.

SELAMAT ULANG TA-

Sepucuk tulisan yang belum terselesaikan, membuat Nana mematung di sana. Ia berlutut di lantai meraung keras menangis kembali. Bahkan matanya saja masih sembab bekas menangis kemarin malam, dan kini air mata itu kembali turun mengalir begitu saja.

Jeritan pilu terdengar bersamaan dengan derasnya hujan, membuat suara tangisan seolah terpendam tanpa ada yang tahu.

Nana mendekap kertas itu erat-erat, sambil menatap sebuah piano di depannya. Dilengkapi dengan hiasan kertas- kertas kecil yang memang belum sepenuhnya jadi. Ulang tahunnya masih lama, dan ia sudah mendapat kado dari sang abang tercinta.

Kado yang cukup menyakitkan untuk diterima.

Ia menghapus bekas air mata cepat-cepat, saat mendengar suara pintu terbuka diiringi derapan langkah kaki yang berjalan menuju arah kamar.

" Bang Na ini mie pangsitnya, ayo makan bareng,"

Nana berjalan ke ruang tamu setelah berusaha menghilangkan sembab yang masih kentara di wajahnya. Menghampiri Jeje yang sudah duduk disana dengan membawa tiga bungkusan mie ayam favoritnya.

" Kamu mau makan dua bungkus Je??"

Jeje menoleh, lalu menatap sisa bungkusan yang masih ada dalam kantung plastik.

" Emang bang Jovi gamau ma-

Ekspresinya berubah segera, ia memandang Nana yang saat itu masih diam menatapnya.

" Je......

" Ternyata tinggal kita berdua ya bang..."

PAGE of 365 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang