Sudah berapa lama aku tidak merasakan kulitnya? Mungkin terlalu lama. Kulitku menggigil ketika mengingat kulitnya yang berwarna sawo matang, rasanya yang setengah hambar, namun terasa di setiap sudut lidah. Matanya berwarna coklat tua, seperti perempuan pada umumnya, namun arti di balik kornea itu yang dicari-cari hingga daftar pustaka.
Aku selalu yakin, bahwa sentuhku bisa membawanya pergi. Jika aku mengingatnya kembali, aku yakin ini tidak pernah akan lolos sensor, mengingat sensor yang berlebihan di tempat ini. Tapi yang aku tahu adalah, bagaimana sebuah sentuhan bisa berubah menjadi romantis, jika peluh dipadukan dengan rasa vanilla.
Setiap kami (seperti kata Sal), Melebur Semesta, aku bisa merasakan bagaimana tulang belakangnya meleot, ke kiri, dan ke kanan. Seperti aku bisa mengamati bagaimana mulutnya berubah ketika jariku menyentuh yang dingin, menyentuh kulitnya yang panas. Rambutnya yang lecek karena terlalu sering berguling di atas sprei yang tidak mungkin rapih, kakinya yang ia coba rapatkan, namun terbentur kepuasan yang menahannya. Saat jariku menyentuh punggungnya yang penuh dengan keringat, itu membuatnya semakin dekat, semakin rapuh, semakin ingin. Seperti serigala yang menawarkan sebuah kapas.
Pagi harinya, semua itu menghilang.
Sinar pada bulan April, kadang ditutupi oleh awan yang labil, memutuskan untuk hujan atau tidak. Matahari selalu absen pertama pada pagi hari, namun sebagian besar bagiannya kemudian, diambil oleh cumulonimbus yang tebal. Tapi itu bukan berarti tidak bisa merasakan udara yang begitu lembab. Hal yang menakjubkan adalah, aku lebih memilih untuk berdiam diri di kegelapan, bersamanya, meskipun lebih banyak debu dibandingkan Vitamin D.
Ia mengeluh kesakitan dan kepanasan karena kamar itu terlalu sesak. Akui saja, kasur itu cukup kecil untuk berdua, namun ketika semesta melebur, itu seperti permadani yang ditebar. Aku tersenyum melihatnya begitu cerah ketika ia tersenyum, seperti matahari yang ada di luar.
"Gimana?" tanyanya. Aku tahu maksudnya. Ia bertanya, apakah ia semalam pandai dalam bertengkar lidah. "Hebat." tentu saja aku memujinya. Lagipula, aku rasa tidak ada yang membuatku seperti ini. Walaupun aku menolaknya, mungkin alam bawah sadarku yang akan berbicara. Aku mengakuinya, akan selalu mengakuinya.
Aku keluar dari kamar itu, melihat bahwa sekarang sudah pukul 9 pagi. Jam dinding yang menempel tepat di depan kamarku itu, sudah cukup berdebu, namun masih mampu menunjukkan waktu. Aku belum memakai baju, hanya telanjang dada dan menggunakan celana pendek. Kamarku terbuka lebar, aku melihatnya di atas tempat tidurku, ronanya menakjubkan, tulang belakangnya sedikit terlihat. Ia tidak memakai sehelai benang pun di kulitnya, hanya ditutupi oleh selimut tebal yang melindungi kita dari pendingin ruangan.
Teh selalu menjadi pilihanku pada pagi hari, yang berkarakter sepet dan sedikit gula, selalu membangunkanku di pagi hari. Sementara untuknya, tuangan air putih yang sederhana. Jika dihitung, ia bisa menghabiskan satu botol air mineral kemasan secara langsung. Saat aku menyiapkan teh dan menuangkan air putih, tiba-tiba aku mendengar suara dari kamarku.
Ia duduk di ujung kasur, mengucek matanya, dan diam untuk beberapa detik. Aku bisa melihat dadanya menggantung bebas. Perutnya yang rata, dan kakinya yang ditutupi oleh selimut. Ia berdiri dan berjalan menuju lemari. Ia rupanya sedang mencari pakaian untuk dipakai.
Aku tidak terlalu menghiraukannya, dan kemudian lanjut untuk membuat teh. Air putih miliknya sudah kutuangkan ke gelas favoritnya yang berwarna ungu miliknya. Ia punya dua, namun sayangnya aku memecahkannya, dan ia kecewa dengan menghela nafas yang panjang. Aku menaruh air putih itu di atas meja. Sekarang aku saatnya menuangkan gula ke dalam teh, cukup satu sendok saja.
Tiba-tiba ia memelukku dari belakang, yang sebenarnya aku tidak cukup kaget. Kemarin, sudah tidak terhitung berapa kali aku dipeluk dari belakang seperti ini. Aku cukup menyukainya, betapa ia bisa seperti ini. Aku berusaha untuk menengok ke belakang, tapi gagal karena ia memelukku terlalu keras. Aku melepaskan pelukannya secara halus, dan kemudian menghadap kepadanya, ia melihat menembus pupilku. Aku juga bisa melihatnya, murni, lugu, tapi sekaligus... begitu sadar dengan apa yang terjadi.
Ia memakai salah satu baju kesukaanku. Baju band Led Zeppelin, yang berwarna abu-abu dengan motif asap. Rupanya ia tidak memakai celana, karena bajuku yang oversize sudah menutupi hingga sampai bawah. "Itu minumnya." ucapku. Ia tersenyum, dan kemudian melepaskan pelukannya, meraih gelas yang berisi air putih itu. Aku memperhatikannya, matanya yang menyipit ketika ia minum air dingin. Kedua tangannya memegang gelas itu, tidak membiarkannya untuk terjatuh.
Aku terbuai olehnya.
Ia begitu menakjubkan. Siapa sangka, seseorang yang sungguh sederhana bisa merengkuh diriku secara seluruhnya? Padahal, ia hanya produk dari sepasang laki-laki dan perempuan, yang juga biasa saja. Mereka tidak berasal dari sebuah dunia magis, atau dari planet lain. Ia hanya... seorang manusia.
"Kenapa ngeliatin?" tanyanya tiba-tiba. "Nggak apa-apa. Emangnya nggak boleh?" ia tersenyum. Menaruh gelasnya di atas meja, meninggalkannya kosong. "Kebiasaan, taruh di belakang." lanjutku yang sekaligus mengantarkan gelas itu ke dapur. Aku melihatnya menjulurkan lidahnya, meledekku. Saat aku kembali menuju teh yang sebelumnya sedang aku aduk, teh itu menghilang. Aku mencarinya, dan ternyata ia bawa kembali menuju ke kamar.
"Nyari apa?" tanyanya. "Nyolong ya kamu? Hayo teh aku dimana?" pertanyaanku hanya ia sambut dengan senyumannya yang setengah bersembunyi di balik selimut. Aku melihat di atas meja belajarku, aku menemukannya. Sudah diaduk, dan rupanya tidak disabotase olehnya. Aku kembali tersenyum dan kemudian melompat ke atas kasur, menimpanya yang tengah bersembunyi di balik selimut. "Auh!"
Aku menariknya keluar dari selimut, dan membuatnya duduk. Sekarang kami duduk berhadap-hadapan melihat satu sama lain. Aku terbuai olehnya. Sudah aku bilang itu sebelumnya. Aku hanya bisa tersenyum, dan kemudian aku berdiri untuk mengambil tehku. Tapi, ia memegang tanganku, dan rupanya tidak membiarkanku untuk beranjak pergi. Ia berbisik dengan lirih "Aku benar-benar jatuh cinta denganmu. Jangan kemana-mana." ucapnya. Kata-kata itu seperti mantra di dunia sihir. Aku tersenyum, dan mendekatkan wajahku, mencium bibirnya yang setengah kering.
...
Itu adalah ciuman terakhir kami. Bulan September merupakan bulan yang sebenarnya tidak menyedihkan, namun beberapa aspek mulai menunjukkan sifat murungnya. Lagipula, tidak ada satupun bulan yang sedih. Tapi banyak orang yang menawarkan sesuatu yang berbeda di atas meja.
Tapi semuanya masih terekam. Bagaimana sebuah mahakarya sepertinya bisa mendaratkan rasa nikotin di bibirku. Oh iya, dia merokok. Bagi beberapa orang, merokok adalah sebuah hal yang membuat seseorang cacat, namun buatku, melukai diri sendiri dan tahu resikonya, adalah hal yang menakjubkan.
Persis besok setelah ciuman terakhir itu, ia dipanggil pulang menuju kampung halamannya. Ia tahu itu saatnya. Karena dalam hati, kami berdua tahu, bahwa diri sendiri lebih penting daripada satu sama lain. Hal terakhir yang ingin kami rasakan adalah kami sendiri, dan rasa takut yang kami rasakan, adalah takut itu sendiri.
Sungguh menakjubkan. Sekali lagi, sungguh menakjubkan.
Aku terbuai olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
tulisan yang gua tulis jam 3 malam.
Randomfull random. mungkin ini bisa tentang apa yang aku rasain sekarang, atau hal yang aku pengen omongin bersamamu. i'm speaking to you, and you could tell me your stories as well.