malaikat di pikiran, 19:30 WIB

422 32 0
                                    


Aku tidak mengerti lagi.
Sejak kemarin aku berintuisi.
Meramalkan cuaca buruk yang melanda demografi.

Aku berdiri di atas tumpukan monopoli dan ular tangga.
Padahal baru saja kemarin mengutang untuk foya-foya.
Mimpi memiliki 4 rumah dan 1 hotel di Finlandia.
Dunia gemerlap untuk mengobati luka yang menganga.
Jagermeister dan Absolut adalah obat duka.
Sedikit saja, rayakanlah gaji pertama.

Aku yakin, emosiku sudah stabil.
Kemarin aku marah kepada burung ababil.
Memperdebatkan teori Star Wars dan Triumph Bonneville.
Marah kepada video game yang tidak nyata dan kecil.

Aku yakin, aku mampu mendengarkan.
Kemarin temanku curhat, ingin ditenangkan.
Lantas, aku akan mengatakan:
"Apa gunanya kamu pikirkan?"

Aku yakin, aku mampu berbuat bijak.
Aku yakin, bisa melihat dimana aku berpijak.
Aku yakin, bisa membayar pajak.
Aku yakin, mengontrol mimpi yang menyalak.
Aku yakin, bisa berbuat baik tanpa galak.

Aku mengira diriku epistem.
Padahal tidak memahami entimem.

Setiap hari, pertanyaan itu semakin besar.
"Apakah aku sudah besar?"
"Apakah aku sudah dewasa?"
"Apakah ini saatnya untuk menikah?"
"Apakah ini saatnya untuk membeli rumah?"
"Bagaimana caranya membesarkan anak?"
"Bagaimana caranya memperbanyak uang?"
"Apakah mimpiku tidak akan tercapai?"

Jejak bibirku semakin liar.
Tapi sejak aku keluar dari tembikar,
Aku semakin berani untuk kelakar.

Bumi terlalu besar untuk gagal.
Mimpi tidak pernah jahat untuk disangkal.

Asal kamu mencintai diri,
Maka kamu sudah hidup untuk kemudian hari.



tulisan yang gua tulis jam 3 malam.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang