Semalam aku meraih tangan temanku. Katanya, ia sudah tidak sadar apa yang terjadi. Ketika terkurung dalam rumah selama 6 bulan lebih, Alfa Mart bahkan ibarat Dunia Fantasi.
Imajinasi mencuat-cuat, ketika senyum seseorang tidak pernah dilihat. Kini aku semakin sadar. Waktu aku terkurung ketika merantau, aku ingin pulang. Mengunyah segarnya sayur bening dan berkeringat karena pedasnya sambal terasi. Tapi sekarang, rumah bukanlah rumah. Bagiku ini merupakan sebuah shelter beton dengan tembok yang berbicara.
Instastory kemudian menjadi perjalanan jauh. Menembus kecepatan 150 knot, dan menunggangi awan cumulus. Aku tidak bisa membayangkan betapa segelas senyuman bisa menyegarkan tenggorokanku, dan tenggorokanmu.
---- (bagian kedua) ----
"Tandanya, lu perlu keluar rumah!" Ucapnya.
"Iya anjir. Udah berapa lama gua kekurung kayak gini." Balasku.
"Ntar gua kesana deh, gua jemput lu terus kita ngopi-ngopi cantik aja di daerah Kemang." Ajak temanku lewat ponsel.
"Asik, beneran ya!"
"Iya!"
Sebenarnya, aku tahu itu tidak mungkin. Orang tuaku lebih strict daripada orang tua Juliet. Kemarin saja orang tuaku berteriak ketika aku meminta izin untuk keluar rumah. Sangat gila rasanya. Mungkin buat mereka, WFH tidak masalah. Tapi buatku, teman-teman, dan pacar saat ini adalah sosok yang bahkan aku tangisi.
"Hoi. Kok diem aja lu?" Lanjut temanku.
"Kagak."
Satu sisi, aku sangat suka bermain dengan temanku yang satu ini. Waktu itu kita minum Anggur Merah tanpa mengenal hari esok. Bahkan aku tidak ingat aku ngapain saja esok paginya. Tapi, soal cerita, rasanya aku tidak terlalu mempercayainya.
"Yaudah, ini gua matiin ya. Gua tunggu kabarnya!"
"Iye, sana lu cabut." Jawabku.
Panggilan tersebut aku matikan. Tanpa memberikan kepastian yang benar bisa atau tidaknya aku ikut ngopi dengannya. Aku menghela nafas yang panjang, karena aku yakin. Aku tidak akan bisa keluar dari rumah ini. Semenjak pandemi ini meledak, apa lagi di kotaku ini, rasa sayang orang tuaku justru tidak pernah aku anggap sebagai rasa sayang yang aku butuhkan. Masakan rumah sudah menjadi hal yang monoton. Tidak cukup monosodium glutamat yang biasa kucicipi di pecel ayam pinggir jalan. Mungkin aku terlalu egois, tapi sebagai seseorang yang sudah dewasa, rasanya aku ingin membeli apartemen sendiri.
Langit-langit adalah teman curhatku paling ideal. Ia mendengarkanku ketika aku sedang sedih. Ia membelai rambutku ketika aku sedang bahagia, dan ia membuatku berefleksi ketika aku sedang bercermin. Pikiranku sembakin ekstrim. Aku ingin berlari dari sini. Rasanya sudah gila!
Aku keluar kamar dan menuju meja makan, dan menyadari bahwa tembok bisa berbicara. Aku mendengar setiap hembusan nafasnya ketika menempelkan telingaku. Rasanya tembok itu transparan. Aku mendengar detak jantungnya. Senyumnya menggores korneaku. Tapi kusadari pada akhirnya yang membangun rumah justru adalah kehadiran, dengan mendengarkan sepenuh hati.
---------
Tembok bisa berbicara, mendengar, membalas.
Jika aku membuatnya transparan.
Rumah ini, mungkin reot dan sudah terbawa oleh ribuan konflik,
Tapi, bagaimana jika rumah tak pernah menjadi rumah?
Jika dipertahankan karena humor yang jenaka, dan sperma yang berceceran.
Tawa canda adalah cermin satu arah.
Kasih sayang adalah cinta yang berselera.
Bumbu-bumbu cerita, yang berupaya bersandiwara.
Tapi, mengapa diri kita begitu candramawa?
Semoga lahir pancarona ditengah-tengan putih dan hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
tulisan yang gua tulis jam 3 malam.
De Todofull random. mungkin ini bisa tentang apa yang aku rasain sekarang, atau hal yang aku pengen omongin bersamamu. i'm speaking to you, and you could tell me your stories as well.