Multitasking

1.8K 339 5
                                    

Waktu berjalan cukup cepat untuk Kimberly, yang diizinkan bebas dari pelajaran dan memanfaatkan waktu dengan mengobrol dan berkenalan dengan teman-teman sekelasnya. Begitulah kata Bu Sena, wali kelasnya. Tapi apa yang kau harapkan dari Kimberly? Bersosialisasi? Berkenalan dengan teman sekelas? Haha, lucu.

Perempuan itu sedang memerhatikan papan tulis dengan serius, di atas mejanya terdapat buku-buku tebal, alat tulis, dan buku catatannya. Semuanya tersusun rapi. 

Ia mendengarkan penjelasan Bu Sena dengan saksama, bersamaan dengan membaca buku tebalnya itu. 

"Memang bisa ya multitasking begitu?" celetuk Eleazar, ia menopang dagu memperhatikan Kimberly sedari tadi.

"Bisa. Aku sedang mengisi seratus sepuluh bit kapasitas otakku." ujar Kimberly tanpa mengalihkan pandangannya dari papan tulis.

Eleazar mengerutkan alisnya, tidak mengerti apa yang temannya itu bicarakan. "Maksudnya?"

Kali ini, Kimberly mengalihkan pandangannya dari papan tulis, lalu membaca buku di hadapannya. Ia melakukan itu terus menerus. Bergantian. "Titik perhatian otak kita ada seratus dua puluh bit. Untuk mendengarkan Bu Sena menjelaskan, terpakai enam puluh bit. Untuk membaca buku dengan konsentrasi rendah, terpakai enam puluh bit. Jadi tentu saja bisa multitasking." ujar Kimberly datar, membuat Eleazar terpelanga.

Eleazar terdiam sejenak, berpikir. Mencerna apa yang barusan didengarnya. 

"Ooohh jadi, enam puluh ditambah enam puluh jadi seratus dua puluh. Maka dari itu kamu bisa multitasking, ya?" tanya Eleazar antusias. Ilmu baru tercatat dalam otaknya.

Kimberly terdiam sejenak. 'Siapa bilang aku membaca buku dengan konsentrasi rendah?' ujarnya dalam hati. Tapi ia tetap mengangguk meng-iyakan.

Tak mungkin ia berkata yang sesungguhnya, bahwa ia sedang membaca buku itu dengan konsentrasi penuh. Yang mana memakai delapan puluh bit. Tapi dalam kasus Kimberly, ia sedang membaca buku tebal yang membahas fisika kuantum dan segala teori-teori anehnya. Yang membuat Kimberly memakai sembilan puluh bit dari titik perhatian otaknya. Sehingga kalau ditotal, akan menjadi seratus lima puluh bit. Masih ada sisa sembilan puluh bit untuk mendengarkan pertanyaan Eleazar. Tiga puluh bit sisanya, masih ia simpan.

Alasannya adalah, setelah dimutasi, titik perhatian yang mampu diproses otaknya menjadi dua kali lipat. Dua ratus empat puluh bit informasi bisa ia proses jika sedang berada di titik perhatian penuhnya. 

"Woahh..." gumam Eleazar kagum. Siswi baru di sebelahnya ini mengangkat topik sains  pada percakapan serius pertama mereka.

"Kamu baca apa sih, Kim?" tanyanya lagi.

Kimberly tak bersuara, ia hanya menunjukkan cover bukunya itu selama dua detik, lalu kembali lanjut membaca.

Eleazar terpelanga lagi sesudah melihat judul buku itu. "Itu kan bukan materi kelas sebelas, Kim! Itu materi kelas berapa?"

"Kelas dua belas." lagi-lagi ia berbohong. Menutupi fakta bahwa bahan bacaan yang sedang ia baca itu lebih dalam, spesifik--dan cukup kontroversial untuk logika manusia--dari materi fisika kuantum untuk kelas dua belas.

Eleazar terkesiap. "Gila! Jadi kamu pandai di bidang fisika, Kim?" tanyanya tak percaya, tatapannya seolah berkata: 'Bagaimana bisa ada orang yang mendalami pelajaran se-memusingkan itu?'

Eleazar melihat kepala Kimberly, menyipitkan matanya untuk melihat dengan teliti, apa ada asap keluar dari kepalanya atau tidak. Ia semakin terkesiap lagi, karena jawabannya adalah tidak.

"Keren sekali..." gumam Eleazar menatap Kimberly kagum. Sementara Kimberly masih fokus dengan dua kegiatannya yang ia lakukan bersamaan itu.

"Bisa-bisa... kalau Bu Sena tahu ini, kamu bisa langsung ditunjuk untuk ikut olimpiade sains tingkat internasional, loh!" ujar Eleazar antusias. Ia tersenyum lebar menatap gadis di sebelahnya.

Kimberly melirik Eleazar sekilas. "Olimpiade internasional?"

Eleazar tersenyum antusias. "Iyaa! Akan diadakan dua minggu lagi, dan sekolah kita akan mengirimkan dua orang murid!"

Alis Kimberly bertaut. 'Mengirimkan murid? Memang sekolah ini punya murid unggulan?' pikirnya dalam hati.

"Sudah ada yang didaftarkan?" tanya Kimberly, sambil kembali membaca bukunya.

"Sudah. Setahuku hanya Kak Ace... seperti biasa, setiap ada olimpiade, ia selalu mewakilkan Altair School. Sepertinya kali ini ia akan pergi sendiri lagi.. seperti biasanya. Karena murid unggulan di sekolah ini hanya dia seorang." ujar Eleazar dengan nada lesu di akhir kalimatnya. 

Kini Kimberly mematung, matanya berhenti menjelajahi tulisan-tulisan pada buku itu. 

Ia mengerutkan alisnya. "Memangnya dia pintar?" tanyanya. Kini ia sepenuhnya menoleh pada Eleazar.  Nadanya lebih terdengar seperti 'tak terima' daripada bertanya karena penasaran. Tapi tentu saja Eleazar tak menyadari itu.

"Seratus pesen iya!" ujar Eleazar antusias. Belum sempat ia kembali membicarakan lelaki itu, bel pulang sudah berbunyi dengan keras.

KRIIINGG!

Bu Sena mengakhiri pelajaran terakhir itu, kemudian berjalan keluar meninggalkan kelas sebelas A. 

Dalam sekejap, suasana berubah menjadi ramai, beberapa laki-laki langsung bergegas merapikan barang-barangnya, lalu segera pergi. Entah pulang atau pergi kemana. 

Sementara yang perempuan tetap berada pada kursinya masing-masing, semuanya melihat ke arah Kimberly dengan tatapan tidak suka.

"Kim, pulang yuk. Kamu dijemput atau bagaimana?" tanya Eleazar di sebelahnya, sambil memasukkan alat tulisnya ke dalam tas.

"Aku pulang bersama teman-temanku dari sebelas B, rumah kita searah." ujar Kimberly setengah bohong, setengah jujur.

Eleazar ber-oh ria. "Yang murid baru itu, yaa? Dua perempuan cantik itu??"

Kimberly mengangguk. "Yang berambut ungu tua bernama Ruby, yang berambut cokelat namanya Valerie."

Eleazar tersenyum antusias. "Kapan-kapan aku mau berkenalan dengan mereka, ah! Tapi sekarang aku harus buru-buru pulang, ada hal yang harus segera kukerjakan." 

Kimberly mengangguk paham. "Tidak masalah." ia tersenyum tipis.

Tak lama setelah itu, Eleazar berpamitan dengan Kimberly, lalu keluar kelas untuk pulang. Sebelumnya, mereka sudah bertukar nomor ponsel. "Sampai rumah, kita chat-an ya! Tanyakan saja kalau ada hal yang kamu mau tahu tentang sekolah ini, Kim!" begitu kata Eleazar tadi.

Kimberly juga memutuskan untuk mengemasi barang-barangnya untuk pulang. 

Begitu ia berjalan menuju pintu kelas, ia merasa sedikit terusik dengan tatapan-tatapan perempuan di kelasnya, yang menatapnya tidak suka. Membuat Kimberly bertanya-tanya apa kesalahan yang ia buat pada mereka. Tapi pikiran itu tak tinggal sampai sepuluh detik di kepalanya. Ia kembali berjalan keluar acuh tak acuh.

Sambil berjalan ke arah parkiran di belakang sekolah, suatu hal mengganjal pikirannya. Suasana hatinya menjadi aneh. Entah kesal atau apa.


"Sepintar apa sih.." 


AGENT 2: The Parallel DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang