Suara itu. Aku mengenalnya.
Aku menoleh ke belakang. "Ace?"
Lelaki itu sedang tersenyum kepadaku. Aku memperhatikan manik cokelat keemasannya yang terhalang kacamatanya, sorot matanya selalu mengisyaratkan hal yang sama. Ketulusan.
"Kamu mau baca buku apa di sini?" ia mengalihkan pandangannya ke sekeliling sambil berjalan menghampiriku, "apa baru lihat-lihat saja?" Ace kembali menoleh padaku.
"Mau belajar, sih.." ujarku pelan, "kau sendiri?"
Ck, aku salah bicara.
UNTUK APA AKU TANYAKAN?
Sejak kapan aku peduli dengan manusia?
Ah, iya. Hanya basa-basi. Kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial, kan?
"Aku mau mengembalikan buku Leo." Ace tersenyum simpul, sambil menunjukkan sebuah buku kecil bertulisan 'A Designer Art'.
Dari situ aku menebak bahwa Leo pasti akan masuk jurusan yang berhubungan dengan desain, fashion designer mungkin? Karena kulihat gaya berpakaiannya dari atas kepala sampai ujung kaki memang cukup bagus.
Aku mengangguk paham.
Setelah itu, Ace melangkahkan kakinya untuk berjalan menuju rak dimana buku pinjaman Leo itu terletak.
Bagaimana dia bisa tahu?
Seakan-akan ia sudah hapal letak buku-buku yang ada di perpustakan megah ini.
Jangan-jangan ia bekerja sampingan sebagai penjaga perpustakaan?
Ck, tidak penting sekali pembahasan di pikiranku. Sudahlah, aku harus belajar.
Aku melangkahkan kakiku menjelajahi rak demi rak, mencari buku yang menarik perhatianku untuk dibaca. Dan syukurlah, perpustakaan ini tak memuat cerita-cerita tak berbobot seperti novel ringan, fabel, atau cerita remaja lainnya. Aku sedikit senang, bacaannya berbobot semua. Tak jauh dari ilmu sains dan sains sosial.
Aku mengambil dua buku tebal yang bertema sains, dan satu buku filsafat dengan Socrates sebagai dasar pemikirannya. Kemudian aku membawa semuanya itu ke meja baca terdekat, lalu duduk di sana.
Baru saja aku mengistirahatkan tubuhku di atas tempat duduk, seseorang tiba-tiba menarik kursi di sebelahku. "Kamu akan habiskan itu semua dalam satu jam istirahat?" ujarnya, lalu duduk di sebelahku.
Itu adalah Ace, tak lain dan tak bukan. Jelas karena tak ada orang lain di sini.
Aku mengangguk meng-iyakan, membuat lelaki itu menaikkan kedua alisnya kagum. "Waahh.. pantas saja Bu Sena ingin kau mengikuti olimpiade."
Sebenarnya tak ada yang perlu dikagumkan kalau ia tahu aku punya 240 bit informasi yang bisa otakku proses saat berada dalam titik fokus. Dua kali lipat lebih unggul dari manusia biasa. Itulah mengapa, kalaupun ada seorang mutan yang terbodoh didunia, ia masih akan lebih pintar daripada manusia biasa.
"Hari ini ada kelas tambahan?" tanyaku.
Ace mengangguk. "Iya, itu mengapa aku menyuruhmu belajar kemarin."
Iya benar. Dan bodohnya aku tidak melakukannya... makanya aku di sini sekarang, untuk belajar.
Dan entah kesialan apa yang sedang menjahiliku, sampai bahkan saat aku mau belajar sekarang pun ada yang menggangguku. Anehnya, dia orang yang sama dengan yang membuatku tak belajar kemarin malam.
Selalu makhluk ini.
Aku menoleh padanya, yang tanpa kusadari, ternyata ia sudah memperhatikanku sedari tadi. "Sudah kembalikan bukunya?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGENT 2: The Parallel Dimension
Fantasy--Sequel kedua dari AGENT: Agent of mutants-- [The Parallel Dimension; adalah perjalanan kelima mutan itu dalam dimensi paralel, dan secara tidak sengaja menemukan seseorang yang ternyata adalah kunci terkuat untuk mereka semua.] Setelah kiamat men...