Sebuah mobil hitam berjalan melintasi jalan raya dengan kecepatan normal. Kimberly dan Ace berada di dalam mobil itu. Dengan keheningan yang sudah dari tadi berada di antara mereka berdua. Tak ada di antara mereka berdua yang ingin membuka suara terlebih dahulu.
Apalagi Kimberly. Perempuan itu sudah terdiam, memikirkan alasan apa yang harus ia gunakan kalau lelaki di sebelahnya ini bertanya tentang kejadian tadi. Namun sebenarnya, yang lebih mendominasi pikirannya adalah... mengapa Ace melindunginya tadi?
Kimberly tahu tak ada hal yang tidak mungkin. Tapi ia sudah berpikir keras dari tadi, menyocokkan kemungkinan apa saja yang bisa menjadi alasan mengapa lelaki itu melindunginya. Dan hasilnya? Ada, hanya saja... berupa asumsi yang tak masuk akal.
Maka, untuk memastikan asumsinya itu, ia harus bicara dan bertanya.
Ya. Sudah sejak lima belas menit yang lalu Kimberly bertekad untuk bertanya, tapi ia selalu mengurungkan niatnya lagi dan lagi.
Kimberly sesekali melirik lelaki di sebelahnya itu. Ace sedang mengemudi, sorot matanya sedang memperhatikan jalanan dengan tenang. Ia tak memasang ekspresi bingung, atau apapun. Seolah memang tak ada hal yang harus dibicarakan.
Seolah hal yang ia lakukan tadi tak membuatnya bingung sama sekali.
Kimberly sudah berada di dalam mobil hitam mengkilap lelaki itu selama dua puluh menit, sejak pertama kali hidungnya mencium aroma maskulin khas lelaki itu menyebar di seluruh mobilnya, sampai kini indra penciumannya sudah terbiasa dengan aroma lelaki maskulin lelaki itu. Tetap saja, yang dipikiran Kimberly adalah: 'Seharusnya aku membawa Valerie kemana-mana, supaya ia bisa langsung menghapus ingatan orang jika aku dalam masalah.'
Tak ada jalan keluar yang lebih melegakan dari pada itu menurut Kimberly.
Sampai Ace akhirnya membuka suara.
"Kalau mau bertanya, tanyakan saja. Aku akan mencoba menjawab sejujurnya-jujurnya." ujar Ace tanpa menoleh. Ia tetap memperhatikan jalanan, sambil membetulkan posisi kacamatanya.
Kimberly bahkan baru ingat akan hal itu, lelaki di sampingnya ini memakai kacamata. Tapi tentu saja Kimberly tak mementingkan hal itu.
Kimberly merasa seperti diberi kesempatan, akhirnya ia bisa menanyakan hal ini.
"Tadi... kenapa kau melakukan itu?" tanya Kimberly pelan.
Ace menoleh, "Melakukan yang mana? Menghalangimu bertemu dengan Alora atau mengantarmu pulang, Kimberly?" tanya Ace enteng. Membuat Kim tertegun, itu adalah hal yang ia ingin katakan dari tadi! Tapi mengapa lelaki itu mengucapkannya dengan mudah?!
Kim menautkan alisnya, menatap Ace tidak percaya. Satu hal yang ia pelajari mengenai lelaki di sebelahnya ini. Dibalik senyuman ramahnya yang selalu saja terlihat lugu di depan semua orang, ternyata ia lebih frontal atau blak-blakkan dari kelihatannya.
Tapi tak masalah, perkataan Ace barusan tepat sekali.
"Dua-duanya kalau boleh." ujar Kimberly mantap.
"Gak boleh," Ace mengalihkan pandangannya dari jalan raya, lalu menoleh pada Kimberly, ia tersenyum miring, "bolehnya satu aja."
Kimberly mematung. Di satu sisi kaget akan perubahan sikap lelaki itu, dan di sisi lain kaget mendengar kata penolakan dari lelaki itu. 'Bisa menolak juga dia? Kok bisa sih? Padahal kan di sekolah kayaknya serba iya-iya aja..' ujar Kimberly dalam hati.
Kimberly menelan ludahnya, "Kalau begitu... kenapa menghalangiku bertemu dengan Alora?" tanya Kimberly akhirnya.
Jantungnya berdegup kencang, takut mendengar kalimat seram seperti: 'Karena aku sudah tahu semuanya.' atau 'Aku tahu siapa kau.' atau mungkin, 'Kau dan teman-temanmu bukan berasal dari dimensi ini, kan?'
KAMU SEDANG MEMBACA
AGENT 2: The Parallel Dimension
Fantasy--Sequel kedua dari AGENT: Agent of mutants-- [The Parallel Dimension; adalah perjalanan kelima mutan itu dalam dimensi paralel, dan secara tidak sengaja menemukan seseorang yang ternyata adalah kunci terkuat untuk mereka semua.] Setelah kiamat men...