Akhirnya aku pulang.
Heran, kenapa aku berakhir kabur begini?
Sebenarnya bukan masalah, sih... tanpa ikut kelas tambahan pun aku akan bisa-bisa saja mengerjakan olimpiade itu.
Tapi bukan itu masalahnya.
"Sampaii!" ujar Valerie yang duduk di jok belakang.
Aku pun keluar dari mobil putih ini, disusul oleh Valerie dan Ruby. Mereka berdua telah kuberi tahu kalau aku tak jadi ikut kelas tambahan hari ini, dengan alasan 'aku sedang malas'. Setelah itu mereka terbelalak sambil bergumam-gumam tak jelas.
Aku masuk duluan ke dalam rumah. Sebelum itu, aku sempat melihat rumah tetangga sekilas, tak tampak tanda-tanda bahwa Rylan atau Zav sudah pulang. Entah kemana perginya mereka. Sebenarnya bukan hal baru kalau para lelaki pulang sekolah tak langsung pulang, kan? Jadi.. ya sudah lah.
Begitu masuk, aku menyalakan lampu.
Aku berjalan menuju sofa, melepas ransel kecilku, lalu duduk di sofa putih ini. Santai sebentar, sebelum belajar lagi di kamar.
Mungkin memang membingungkan... aku ini sebenarnya mengejar apa sih? Mau ikut ujian kuliah? Mau memulai hidup baru di dimensi ini dan mengoleksi medali-medali yang sejak dulu pantas kudapatkan? Mau menimba ilmu sampai jadi fisikawan?
Mau.
Aku mau.
Jujur aku sangat mau. Apalagi yang terakhir... cita-citaku sejak kecil.
Aku memejamkan mataku, lalu menghela napas.
Alangkah bahagianya kalau aku bisa mewujudkan semua itu. Tapi aku selalu sadar.. aku ini bukan manusia biasa.
Percaya tak percaya, mau tak mau.. beban yang kutanggung sebenarnya masih ada.
"Hanya meratapi nasib." ujarku, membuat Valerie terbelalak. Bahkan Ruby yang sedang mengambil minuman dingin di kulkas, ikut menoleh.
"Aku gak salah dengar kan?!" ujar Ruby sedikit lantang, karena jaraknya yang jauh.
Valerie menggeleng mantap, lalu kembali menoleh padaku dengan tatapan terkejutnya itu.
"Terpengaruh dengan kehidupan normal manusia di sini, Kim? Jadi kepingin?" tanya Val.
Aku menghadap ke arah langit-langit, berpikir sejenak. "Mung... kin?" aku menghela napas.
Ruby datang membawa tiga gelas minuman dingin, lalu meletakkannya di atas meja. "Wajar sih.. tapi kaget aja.. kamu juga bisa merasa begitu, ya?"
Aku tersenyum miring, terkekeh pelan. "Masih tiga tahun lagi... setelah itu pasti akan ada konflik lagi."
Val mengangguk setuju, "Benar... hidup kita memang gak bisa tenang ya?" ia tertawa pahit.
Ruby masih terdiam, ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Kalau misalnya setelah kamu mendapat pengelihatan tentang masa depan, terus ternyata gak ada konflik lagi... gimana?" ujar Ruby tiba-tiba.
Aku langsung menoleh padanya. "Maksudmu... ini adalah akhirnya? Tak ada permasalahan apa-apa lagi, begitu?"
Hahaha!
Harapan yang lugu, lucu sekali.
"Mungkin kan?" Ruby mengangkat kedua alisnya.
Val mengelus-elus dagunya, "Hmm... pasti ada kemungkinan seperti itu."
Aku terkekeh, "Pertama-tama, status kita ini masih 'numpang' di dimensi lain. Dan yang kedua.. maaf saja, tapi aku tak mengenal mutan tanpa masalah."
Terdengar pesimis memang, tapi percayalah. Aku sudah melewati hal-hal sulit yang tak bisa kalian lewati. Yang rasanya sudah mau mati saja.
"Tapi kalau benar-benar bisa... apa kamu gak penasaran, Kim?" Valerie tersenyum simpul.
Begitu juga dengan Ruby, ia menatapku penuh semangat.
Tunggu.
Mereka benar-benar serius?
Mereka kira itu mungkin terjadi, huh? Hahaha...
Tapi jika saja itu mungkin..
"Tetap saja, penasaran tidak penasaran pun kita akan tetap menunggu tiga tahun." ujarku.
Ruby dan Val saling menatap satu sama lain, lalu kembali menoleh padaku dengan senyuman. "Bagaimana kalau... ternyata ada cara untuk mempercepat waktu supaya tak usah sampai tiga tahun!" ujar Ruby terdengar bersemangat.
Supaya tak sampai tiga tahun?
Oh tidak...
Jangan bilang...
"Kamu kan bisa mempercepat waktu, Kim!"
Aku menghela napas. "Ya ampun.."
"Ih! Kenapa ya ampun?! Benar kan? Kamu kan bisa saja mempercepat waktu!" ujar Val.
Iya, Val iya...
Masalahnya, aku tidak tahu.. apa itu diperbolehkan oleh hukum alam atau tidak..
"Aku tak akan melakukannya." ujarku pelan.
Ya.
Jelas tak akan..
Aku bahkan belum yakin apakah setelah mendapat pengelihatan, hidupku akan benar tenang atau ada masalah lain lagi yang datang..
Setidaknya... selama tiga tahun ini aku akan menikmati masa tenang untuk rehat.
"Kalau tidak... mungkin jangan waktunya yang dipercepat," Ruby terlihat sedang berpikir keras, "tapi pengelihatannya yang dipercepat datangnya."
Aku menyernyit, namun tetap mendengarkan Ruby.
"Apa ada sesuatu yang bisa membuat pengelihatan itu cepat datangnya, Kim?" tanyanya.
Aku termenung.
Perkataannya benar juga.. masuk akal.
Tapi aku tak yakin apa aku harus mengatakan ini kepada mereka.
Ck...
"Sebenarnya... ada."
Ruby dan Val langsung membulatkan mata mereka.
"Hah?! Benar ada?!"
Aku mengangguk pelan.
"APAA ITU?!"
Ini bukan termasuk rahasia alam ataupun hukum alam, jadi sepertinya aku bisa memberitahu mereka..
"Pengelihatanku akan datang lebih cepat jika ragaku dekat dengan bahaya non fisik, atau kekuatan amat besar yang mengancam eksistensiku."
Valerie tersentak, begitu pun Ruby.
"Lalu mengapa tak terjadi apa-apa setelah kamu melihat Alora? Dia mengancam eksistensimu, kan?" tanya Ruby.
Pertanyaan yang bagus.
"Karena bukan yang se-level Alora yang dapat mengancam eksistensiku." ujarku.
Alora memang dapat membuatku lenyap. Tapi aku masih bisa awas dengannya. Jadi Alora bukanlah ancaman yang kuat untuk eksistensiku.
Valerie menyernyit heran. "Lalu? Siapa contohnya?"
Dia, yang sudah berubah itu.
Menjadi satu tingkat di atas para mutan.
"Kekuatan yang sebesar Claire.. itu yang akan membuat pengelihatanku datang lebih cepat sebagai proteksi darurat."
KAMU SEDANG MEMBACA
AGENT 2: The Parallel Dimension
Fantasia--Sequel kedua dari AGENT: Agent of mutants-- [The Parallel Dimension; adalah perjalanan kelima mutan itu dalam dimensi paralel, dan secara tidak sengaja menemukan seseorang yang ternyata adalah kunci terkuat untuk mereka semua.] Setelah kiamat men...