Tok! Tok! Tok!
Pintu terbuka, menampilkan seorang lelaki dengan rambut berwarna cokelat tua yang setengah basah, menandakan ia baru saja mandi.
"Ada apa, Kim?" tanyanya, sambil mengusap-usap rambut setengah basahnya, membuat Kimberly sedikit terciprat.
"Let me in, Zav. Aku mau bertanya hal penting." ujar Kimberly datar.
Pada sore hari itu, tepatnya pukul lima sore, Kimberly memutuskan untuk mampir ke tetangganya itu untuk menanyakan hal penting. Cukup mudah, karena rumah mereka yang bersebelahan. Sehingga kalau ada apa-apa terjadi, bisa langsung mampir ke sebelah.
Zav mempersilahkan perempuan itu masuk ke dalam rumahnya--sebenarnya rumah dia dan Rylan-- lalu menyuruh Kimberly duduk di sofa, sementara Zav mengambilkan sekaleng soda.
Rumah mereka satu lantai, desainnya cukup sederhana. Seluruh ruangannya dominan berwarna hitam. Walau untuk keseluruhan termasuk minimalis, tetapi tak terlihat menyesakkan atau pun sempit.
"Hal penting apa? Ada hubungannya dengan percakapanmu dengan Rylan setelah menjambak rambutnya di depan Ace dan Leo tadi?" tanya Zav santai, sambil menaruh sekaleng soda di meja ruang tamu, untuk Kimberly.
Kimberly melirik sekaleng soda yang Zav letakkan di depannya itu, lalu terkekeh pelan. "Aku tamu loh, masa diberi soda? Paling tidak teh, dong." ujarnya tanpa menjawab pertanyaan Zav.
Bisa tolong beri tepuk tangan untuk mengapresiasi niat basa-basi Kimberly? Sangat jarang ia melakukan itu. Sangat.jarang.
"Kau habis menemukan gagasan yang bertentangan dengan teori Max Planck lagi, huh?" tanya Zav menebak-nebak. Kalau suasana hati perempuan itu sedang baik, tak ada kemungkinan yang lebih masuk akal dari dirinya baru saja selesai merenungkan segala postulat dan teori fisikawan-fisikawan itu, dan sudah menemukan titik terang.
Tak ia sangka, teman perempuannya itu betul-betul mengangguk.
Kimberly tersenyum puas (sejarah harus mencatat ini), lalu menjentikkan jarinya. "Yup! Ada beberapa gagasan yang ingin kuperdebatkan dengannya, ugh... andai saja dia masih hidup." ujarnya, sangat menyayangkan fakta bahwa fisikawan itu telah tiada, sehingga ia hanya bisa menyimpan gagasan briliannya sendirian, tanpa ada orang yang bisa ia ajak berdebat.
"Tenang saja Zav, aku bukan kesini untuk mengoceh tentang itu. Aku tahu kau akan langsung tertidur dalam dua menit." raut wajah Kimberly berubah menjadi datar lagi.
Zav menghela napas lega, "Syukurlah." gumamnya.
"Imma just straight to the point." Kimberly menelan ludah, menyiapkan napas panjang untuk menjelaskan hal penting itu.
"Teman semejaku namanya Eleazar Mandara. Wajahnya imut, kulitnya putih, orangnya cukup terbuka.. ia tak pernah kehabisan topik pembicaraan.. yah, jelas sekali ekstrovert. Intinya, dia anak yang baik," Kimberly menatap Zav serius, "tapi ada yang aneh..."
KAMU SEDANG MEMBACA
AGENT 2: The Parallel Dimension
Fantasy--Sequel kedua dari AGENT: Agent of mutants-- [The Parallel Dimension; adalah perjalanan kelima mutan itu dalam dimensi paralel, dan secara tidak sengaja menemukan seseorang yang ternyata adalah kunci terkuat untuk mereka semua.] Setelah kiamat men...