yuk divote dulu sebelum lupa
happy reading!___
Luna datang ke alamat yang dikirimkan oleh Vano. Kini ia sedang mencari kamar nomor 428. "426 ...,427 ...," gumamnya sambil menunjuk setiap pintu kamar hotel.
"Nah, akhirnya ketemu." Sebelum mengetuk pintu, Luna memastikan ulang agar ia tidak malu nanti karena salah mengetuk. Luna melihat kembali chat-nya dengan Vano. "Udah bener."
Dua jari Luna bergerak mengetuk pintu. Seketika perasaannya jadi tidak karuan. Entah mengapa ia selalu merasa deg-degan jika bertemu dengan Vano.
Pintu dengan warna coklat di hadapan Luna terbuka. Luna tersenyum tipis kepada Vano.
"Ayo masuk," ucap Vano.
Luna menurut dan masuk ke dalam. Tangannya menenteng tote bag berisikan barang-barangnya.
"Lo udah makan, Lun? Kalau belum, itu ada makanan di meja." Vano menunjuk makanan serta minuman yang ada di meja.
"Kebetulan belum," jawab Luna disertai kekehan.
Vano tertawa kecil. Namun, tawanya berhenti dan berganti menanyakan sesuatu pada Luna. "Arsen tau lo ke sini?"
Kepala Luna menggeleng. "Enggak, tapi sebenarnya tadi Bang Arsen ada nanya gue mau ke mana, cuman gue jawab mau kerja kelompok."
Vano mengangguk. "Baguslah."
"Tapi berarti nanti Kak Vano ngantar gue balik ke sini lagi?" tanya Luna.
"Iya." Jawaban Vano membuat Luna semakin merasa seperti sedang menjalani hubungan backstreet. Jujur saja, ini sangat tidak enak. Hanya sekadar ingin bertemu saja sangat sulit, dan tentunya merepotkan.
Vano memakai jaketnya. "Gue harus balik dulu. Lo pakai aja apa yang ada di sini," ucapnya.
"Oke. Makasih banyak, Kak."
Senyum terbit dari wajah Vano. Vano tiba-tiba mendekat ke arah Luna. Satu tangannya memegang pinggang Luna. "Everything for you," bisiknya tepat di telinga Luna. Vano kemudian mencium pipi kanan Luna.
Mata Luna melotot. Apa ... apa yang baru saja menempel di pipinya? Perutnya seperti dipenuhi kupu-kupu yang beterbangan ke sana kemari.
Luna mendongakkan kepalanya, menatap Vano. Vano tersenyum. "Gue balik dulu. Nanti jam 5 gue jemput."
Luna tidak mengatakan apa-apa. Otaknya masih blank. Vano begitu lancang mencium pipinya tanpa izin, tapi mengapa ia merasa senang?!
Vano mengelus rambut Luna lalu keluar. Saat sudah berada di luar, Vano tersenyum miring. Permainan dimulai.
-algara-
"Gimana adekmu di sana?"
Stella menganggukkan kepalanya sambil mengunyah. "Baik, Ma."
"Makannya gimana?" tanya Cindy.
"Suka delivery," jawab Stella.
Cindy menghela napasnya. "Waduh." Ia suka tidak tenang membayangkan bagaimana anak bungsunya tinggal sendiri di kota besar.
"Tenang, Ma. Udah aku suruh nepatin janjinya kalau udah lulus."
Awalnya mereka semua tinggal di Jakarta saat Stella masih duduk di bangku SMA, sampai akhirnya pindah ke Surabaya setelah Stella lulus. Namun, Gara menolak untuk ikut ke Surabaya. Ia berkata ingin sekolah SMA di Jakarta dan tinggal sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALGARA
Teen Fiction[UPDATE SETIAP HARI SABTU] Seperti yang banyak orang katakan bahwa tidak ada pertemanan murni antara perempuan dan laki-laki. 2 tahun bersahabat dengan Gara, Luna mulai merasakan ada yang berbeda dengan dirinya ketika bersama Gara. Namun, mungkinka...