Monica menggigit jarinya, panik. Ia sedang menunggu Vano yang pergi membeli test pack. Jangan sampai prasangka-nya dengan Vano sungguh terjadi. Semoga ini memang hanya telat datang saja.
Mata Monica berkaca-kaca. Terlihat bahwa gadis itu ingin menangis. Ia berjalan ke sana kemari, tidak tenang.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Vano dan Monica saling bertatapan satu sama lain. Vano mendekat ke arah Monica sambil membawa kantong putih kecil.
"Vano ...." Monica memeluk Vano. Ia sangat ketakutan sekarang. Jantungnya berdebar tidak karuan.
Vano menjauhkan Monica dari tubuhnya. Ia memegang kedua bahu Monica. "Itu gak mungkin," ucap Vano. "Supaya lebih pasti, mending lo cek sekarang."
Vano menyodorkan kantong putih di tangannya. Monica mengatur napasnya, berusaha tenang. Penuh keraguan di dalam dirinya.
"Ca." Vano menatap tajam pada Monica yang tidak kunjung mengambil sesuatu di tangannya.
Karena Monica yang hanya diam saja layaknya patung, Vano akhirnya membawa Monica ke kamar mandi. Ia mengeluarkan dua buah test pack yang ia beli.
"Aku takut, Van," lirih Monica.
"Kenapa harus takut? Gak ada apa-apa," sahut Vano. Ia membaca petunjuk yang ada di bungkus test pack. Namun, pikirannya terlalu kacau untuk memahami petunjuk tersebut.
"Lo baca, lakuin, dan kita akan tau hasilnya." Vano memberikan test pack tersebut pada Monica.
Monica duduk di kloset. Matanya menatap datar pada dinding kamar mandi. "Kalau hasilnya positif gimana?" tanyanya tanpa menatap Vano.
Vano terdiam. Ia menoleh ke arah Monica. "Gak akan," jawab Vano. Kepala Monica mendongak, menatap Vano. Monica menghapus air mata di pipinya.
Vano tiba-tiba berjongkok di hadapan Monica. Ia memegang kedua lutut Monica "Gak akan ada apa-apa. Percaya sama gue."
Monica menarik napas lalu mengangguk. Ia membaca dengan teliti petunjuk yang ada di test pack.
"Wadah," ujar Monica.
"Kenapa?"
"Di sini tulisnya perlu wadah untuk menampung urin."
Vano melihat ke sekelilingnya, lalu berhenti pada wadah berisi sikat gigi. Ia mengeluarkan sikat gigi dari wadah tersebut dan memberikannya pada Monica. "Ini bisa?" tanya Vano.
Monica mengangguk. Ia tidak lanjut membaca petunjuk tersebut, tapi ia malah memerhatikan Vano dengan wajah canggung.
Vano mengangkat alisnya. "Kenapa?"
"Aku perlu pipis ...," lirih Monica. Vano mengerti maksud Monica. Ia langsung keluar dari kamar mandi.
Vano berjongkok lalu menyandarkan kepalanya di dinding. Matanya terpejam. Tidak hanya Monica yang panik, tapi dirinya juga. Sepanjang jalan tadi pikirannya kalut.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara Monica yang memanggil Vano. "Vano."
Kedua mata Vano terbuka. Vano spontan berdiri dan menatap pintu kamar mandi yang tertutup. "Udah selesai?" tanyanya.
"Sini masuk," suruh Monica.
Kini giliran Vano yang ragu. Cowok itu tidak langsung masuk, tapi memandangi pintu di hadapannya lebih lama lagi.
Vano mendorong pintu dan menatap Monica. Dari wajahnya sudah terlihat jelas bertanya 'gimana hasilnya?'.
Monica mencelupkan test pack ke dalam wadah selama kurang lebih lima detik lalu mengangkatnya. Vano mendekat ke arah Monica. Ritme jantungnya terasa lebih cepat dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALGARA
Teen Fiction[UPDATE SETIAP HARI SABTU] Seperti yang banyak orang katakan bahwa tidak ada pertemanan murni antara perempuan dan laki-laki. 2 tahun bersahabat dengan Gara, Luna mulai merasakan ada yang berbeda dengan dirinya ketika bersama Gara. Namun, mungkinka...