Monica terbaring di brankar dengan tangan diperban. Dokter sudah selesai menangani luka di tangannya, juga pendarahan yang ia alami. Untungnya semua baik-baik saja.
Monica tidak bisa berhenti mengelus perutnya. Ia tadi begitu panik dan takut saat melihat bercak merah yang berasal dari intimnya.
Tirai tiba-tiba terbuka, membuat Monica menoleh. Gara dan Monica saling melempar pandangan. Monica melihat ada banyak noda darah di seragam Gara.
"Gue udah urus semuanya. Dokter bilang lo boleh pulang sekarang," ucap Gara.
Monica memainkan jarinya, gugup. Apakah dokter ada mengatakan pada Gara bahwa ia hamil? Ia ingin bertanya pada Gara, tapi takut.
Tangan Gara terulur ke arah Monica. Monica menatap Gara dengan penuh keraguan. Namun, akhirnya ia tetap menerima uluran tangan Gara. Tentunya menggunakan tangannya yang tidak terluka.
Monica mengubah posisinya menjadi duduk dengan bantuan Gara. Ia masih bisa merasakan nyeri di perutnya, tapi dokter berkata rasa nyerinya akan berangsur hilang.
Tiba-tiba Monica teringat sesuatu. Ia menoleh ke nakas lalu mengambil benda hitam milik Gara. Monica mengembalikan ikat pinggang yang sempat ia pakai tadi.
Gara menerimanya. Di sini suasana seketika terasa canggung. Gara menggulung ikat pinggang tersebut agar bisa ia masukkan ke saku celana.
Monica menyibak selimut dari tubuhnya lalu perlahan turun dari brankar. Mereka berjalan keluar dari IGD. Gara berjalan dengan pelan, menyesuaikan langkah Monica.
Langkah Gara berhenti di pintu IGD. Otomatis hal itu juga membuat Monica berhenti berjalan. Gara memandangi Monica dengan cukup intens.
Tatapan intens Gara membuat Monica ketar-ketir sendiri. Perasaannya jadi semakin tidak tenang, takut jika Gara tahu ia sedang hamil.
Gara mengeluarkan dompetnya lalu memberikan uang pada Monica. Monica menatap uang yang disodorkan Gara.
"Lo balik pakai taksi ya."
Kedua sudut bibir Gara sedikit terangkat. "Nanti tas lo gue antar."
Monica terdiam sebentar, kemudian mengatakan sesuatu. "Tapi kamu gak tau rumah aku di mana."
Gara baru tersadar. Bagaimana ia bisa mengantar jika ia saja tidak tahu alamat rumah Monica? Monica juga tidak bisa menghubungi dirinya karena ponsel dan semuanya tertinggal di apartemen.
Seorang suster lewat sambil membawa berkas. Gara mencegat suster tersebut. Telunjuknya mengarah ke dada kiri suster itu.
Suster itu melebarkan matanya. "Kamu jangan mesum ya!" Ia tidak percaya ada anak SMA yang mesum padanya, terlebih ini di rumah sakit.
Gara langsung terkejut. Ia tidak bermaksud begitu. "Bukan-bukan." Tangan Gara melambai-lambai. "Saya mau pinjam pulpen."
"Pulpen?"
Gara menganggukkan kepalanya. Suster tersebut menunduk dan ternyata memang ada pulpen di saku pakaiannya. Ia menelan salivanya, malu karena salah menuduh.
Kedua alis Gara terangkat. Telapak tangan Gara terbuka, bersiap menerima pulpen hitam milik suster tersebut.
Akhirnya suster tersebut meletakkan pulpennya di tangan Gara dan langsung pergi begitu saja. Ia sungguh sangat malu.
"Sus!" teriak Gara. Ia bingung karena suster cantik itu malah pergi.
Gara menatap Monica. Ia meraih tangan kiri Monica dan menuliskan nomor teleponnya di telapak tangan Monica.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALGARA
Teen Fiction[UPDATE SETIAP HARI SABTU] Seperti yang banyak orang katakan bahwa tidak ada pertemanan murni antara perempuan dan laki-laki. 2 tahun bersahabat dengan Gara, Luna mulai merasakan ada yang berbeda dengan dirinya ketika bersama Gara. Namun, mungkinka...