___
Gerbang dibuka dengan lebar oleh dua orang bodyguard ketika mobil sedan berwarna hitam tiba. Vano berpikir keras selama perjalanan ke rumah opanya. Bagaimana caranya ia bisa bebas pergi jika tinggal di sini?
Menyadari mobil sudah berhenti, Vano turun dengan sendirinya. Sang sopir bingung harus berkata apa melihat wajah Vano yang tidak berekspresi.
Vano melangkah setapak demi setapak sambil terus menggerutu. Sungguh hari yang sial. Hanya karena satu keputusan bodoh, ia berakhir di sini.
Langkah Vano sudah sampai di depan pintu rumah. Sebelum masuk, Vano berpikir lebih dulu. Jika ia kabur, rasanya percuma juga. Sekarang tidak ada selembar uang pun di dalam kantongnya.
Alhasil Vano memencet bel agar seseorang membukakan pintu untuknya. Setelah menunggu beberapa saat, seorang perempuan yang bekerja sebagai ART membukakan pintu.
ART tersebut menunduk, menyapa Vano yang merupakan cucu dari majikannya. Ia kemudian mempersilakan Vano untuk masuk.
Vano berjalan masuk dengan kedua tangan berada di saku celananya. Sudah cukup lama ia tidak kemari. Tidak terlihat berbeda dari sebelum-sebelumnya.
Bola mata Vano mengelilingi seisi rumah yang bagai berlian ini. Semuanya berkilau dan mengagumkan.
Orang-orang mungkin berpikir tinggal di rumah seperti ini akan menyenangkan, tapi bagi Vano tidak sama sekali. Di sini dan di rumah orang tuanya sama saja. Sepi, seakan tidak ada kehidupan.
"Kamu udah sampai."
Kepala Vano bergerak ke sana kemari dan berakhir menghadap ke atas. Vano menatap opanya beberapa saat. Ia kemudian berniat untuk menghampiri opanya.
"Tunggu di situ," suruh pria dengan rambut yang setengahnya sudah beruban.
Perkataan Justin dituruti oleh Vano. Vano menunggu sambil memandangi setiap langkah opanya.
"Kamu kenapa disuruh tinggal di sini?" tanya Justin sambil tersenyum. Ia sudah berada di bawah dan mulai mendekat ke tempat Vano berdiri.
Wajah Vano terlihat malas karena basa-basi yang dimulai opanya. Vano menatap ke arah lain, menghindari kontak mata dengan Justin.
Justin tertawa kecil. Kedua kakinya berdiri tegap di hadapan Vano. "Semua fasilitas kamu disita?"
Vano hidup serba ada sejak ia kecil, walaupun orang tuanya tidak terlihat peduli. Dengan kondisi itu membuat Vano ketergantungan dengan semua aset yang ia miliki.
Justin mengerti apa yang Vano inginkan. Ia pernah muda juga. "Kamu mau hidup bebas?" tanya Justin to the point kali ini.
Pertanyaan yang satu ini sanggup membuat Vano menatap Justin. Vano berpikir bahwa ia tidak perlu menjawabnya karena opanya pasti sudah tahu jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALGARA
Teen Fiction[UPDATE SETIAP HARI SABTU] Seperti yang banyak orang katakan bahwa tidak ada pertemanan murni antara perempuan dan laki-laki. 2 tahun bersahabat dengan Gara, Luna mulai merasakan ada yang berbeda dengan dirinya ketika bersama Gara. Namun, mungkinka...