11. Kacau

895 56 73
                                    

Sekujur tubuh Luna bergetar. Ia merasa sangat kedinginan dan ketakutan. Kejadian tadi masih begitu melekat di kepalanya.

"Lun."

Luna diam, tidak menyahut apa-apa. Sekarang yang ia khawatirkan adalah Arsen. Abangnya akan marah jika melihatnya pulang bersama Vano dalam kondisi seperti ini.

Kini mobil Vano sudah berada di depan rumah Luna. Mereka berdua belum ada yang berani untuk keluar dari mobil. Vano memutar bahu Luna agar menghadapnya. "Biar gue yang ngomong sama Arsen."

Luna malah kembali menangis. Ia takut abangnya akan marah. "G-gue takut."

Vano menarik rambut basah Luna ke dadanya, mendekap Luna dengan hangat. "Ada gue." Luna terisak dalam dekapan Vano.

Beberapa saat mereka dalam posisi seperti itu, hingga Vano berkata, "Kita keluar sekarang ya."

"Nanti Bang Arsen marah," isak Luna.

Vano menepuk-nepuk bahu Luna. "Gapapa, Lun."

Luna menjauhkan tubuhnya dari Vano. Ia mencoba menetralkan napasnya yang tersendat-sendat. Terlebih dahulu ia menghapus air matanya yang tidak mau berhenti keluar.

"Udah siap?" tanya Vano.

Dengan ragu Luna mengangguk. Keduanya keluar dari mobil. Sambil berjalan masuk, Vano merangkul bahu Luna. Setibanya di depan pintu, Luna tidak langsung masuk. Ia terlalu takut untuk menghadapinya.

Tangan Luna bergerak memegang gagang pintu, berniat membukanya. Namun, belum juga menyentuhnya, pintu tersebut sudah lebih dulu terbuka.

"Luna?"

Luna tersentak. Jantungnya langsung berdebar dengan sangat cepat. Ia menatap Arsen dengan penuh gelisah.

"Lo kena-" Ucapan Arsen terhenti. Ia menatap Vano yang ada di samping Luna. Ada yang aneh di sini. Mengapa Luna pulang bersama Vano? Bukankah Luna pergi kerja kelompok?

Arsen kemudian salah fokus dengan rambut Luna yang sepertinya basah. Tangannya terulur menyentuh rambut Luna dan benar saja basah. "Lo kenapa basah gini?" tanya Arsen pada Luna.

"Kecebur," lirih Luna.

Kening Arsen berkerut. "Kecebur? Kok bisa?"

Arsen menepis tangan Vano yang ada di bahu Luna. "Lo kenapa bisa sama Luna?" sewotnya.

"Kok lo bisa pulang bareng Vano? Bukannya tadi lo bilang kerja kelompok?" tanya Arsen.

Luna menggigit bibirnya, menahan tangis. Namun, itu sama sekali tidak berguna, karena tangisnya tetap terdengar.

Arsen dibuat panas ketika Luna menangis. Ia menatap Vano dengan tatapan mematikan. "Lo apain Luna?!" Nada bicaranya lebih tinggi daripada yang sebelumnya.

Mata Luna terpejam mendengar teriakan Arsen. Sudah ia duga Arsen akan meledak. Arsen menarik Luna masuk ke dalam lalu menutup pintu.

Bajingan yang satu ini memang tidak bisa diberi tahu baik-baik. Arsen mencengkeram kerah Vano.
"Ngomong, anjing!"

"Gue ngajak Luna jalan."

Arsen terkekeh. "Jadi lo nyuruh Luna bohong terus lo jalan sama dia? Licik lo, bangsat!"

"Asal lo tau, gak cuma gue yang berusaha buat jalan sama Luna, tapi Luna juga," ucap Vano pelan, agar tidak terdengar oleh Luna yang berada di dalam.

Saat itu juga Arsen langsung menghajar Vano dengan membabi buta. "Anjing lo!" geram Arsen.

BUGH!

"Gue udah bilang jauhin Luna, bangsat!"

"Arsen!" Ersa menarik Arsen agar tidak menghajar Vano. Arsen langsung melepaskan cengkeramannya. Napasnya memburu. Ia menatap Vano dengan emosi yang membara.

ALGARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang