42. Hipotesis

498 39 2
                                    

Seiring berjalannya waktu, Luna sudah merasa lebih baik walau tidak bisa pungkiri ia masih agak syok. Tidak percaya saja dengan hipotesis ia dan Gara saat ini bahwa Vano adalah tersangka atas masalah mereka.

Isi kepala Luna sempat hanya berisi rasa kecewanya pada Vano. Namun, dengan terbukanya celah dari inti masalah ini, Luna jadi menerka-nerka, apakah Vano yang selama ini ia kenal tidak seperti yang ia kenal?

Luna mencoba menepis prasangka buruk itu karena belum terbukti bahwa segala prasangka buruk itu benar. Ia dan Gara juga akan mulai menyusun rencana untuk melakukan penyelidikan. Dari situlah semuanya akan terjawab.

Luna turun ke bawah, ingin menghirup udara malam. Saat ia tiba di anak tangga terakhir, lampu-lampu sudah dimatikan dan hanya tersisa lampu yang ada di dapur.

Langkah Luna menuju ke halaman belakang. Luna melihat pintu belakang terbuka, padahal seharusnya tertutup karena ini sudah malam. Apakah orang rumah lupa untuk menutup pintu?

Dengan perlahan, Luna mengintip kondisi di halaman belakang. Siapa tau saja ada maling. Ah ..., ternyata Si Jomblo.

Luna bernapas lega. Ia mendekati Arsen yang sedang duduk kalem di kursi panjang berwarna putih. "Bang."

Arsen sontak menoleh. Ia agak terkejut karena kehadiran Luna yang tiba-tiba. "Ngapain lo?" tanya Arsen.

"Gak tau." Luna menjawab asal. Ia tidak mempunyai alasan. Hanya ingin saja duduk sambil memandangi langit malam.

Luna balik bertanya sambil menoleh ke arah Arsen. "Lo sendiri ngapain?"

Laki-laki berjaket hitam itu menjawab, "Gak ngapa-ngapain. Duduk doang."

"Lagi overthinking ya lo?" tebak Luna. Ia melihat Arsen tidak membawa apa pun, persis seperti dirinya. Mungkin saja abangnya juga sedang overthinking.

"Sok iye lo."

Tiba-tiba Luna membuka topik yang tidak terduga bagi Arsen. "Lo sama Nadin ada hubungan apa sih, Bang?"

Arsen terlihat heran karena Luna mendadak bertanya tentang hubungannya dengan Nadin. "Temen doang." Ia langsung menjawab tanpa banyak berpikir.

"Terus kenapa kalian pergi berdua pas ulang tahunnya Kak Clara?" Luna memandang abangnya dengan tatapan curiga. Ia masih bertanya-tanya hingga saat ini.

"Gue minta Nadin temenin karena awalnya gue mau ngajak lo, tapi ternyata lo diundang juga sama Clara. Kalau lo diundang, udah pasti lo perginya sama Gara," terang Arsen.

Setelah mendengar penjelasan Arsen, wajah Luna masih terkesan tidak percaya bahwa alasannya hanya seperti itu. "Masa sih?" Seolah-olah alasan ia pergi dengan Gara hanyalah kambing hitam.

Arsen merasa ia seperti sedang disidang oleh pacarnya karena pergi bersama perempuan lain. Sialnya, ia tidak memiliki pacar.

"Lagian Nadin kan pacaran sama Reza," celetuk Arsen.

Luna refleks berteriak. "Hah?! Kok gue baru tau?"

Arsen menempelkan telunjuk di bibir, meminta Luna untuk memelankan suara. "Shutt .... Jangan berisik."

Dirasa Luna sudah bisa mengontrol diri, Arsen kemudian menjawab, "Gue cuma asal ngomong sih." Ia terkekeh pelan.

Luna menyenggol lengan Arsen dengan sengaja. Wajahnya menjadi malas karena ia pikir Nadin dan Reza sungguh berpacaran tapi tidak memberi tahu dirinya. Sungguh kejam jika begitu.

"Tapi kalau menurut gue, Nadin sama Reza mungkin kasusnya sama kayak lo dengan Gara. Jadi gue gak kaget kalau suatu saat mereka beneran pacaran."

Luna tidak ingin mengelak. Apa yang dikatakan Arsen memang ada benarnya.

ALGARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang