25. Blank

631 43 50
                                    

Vano datang ke rumah Monica tanpa sepengetahuan Monica. Entah mengapa perasaannya agak tidak tenang mengetahui Monica yang masih sakit hingga hari ini.

Vano menaiki anak tangga. Harusnya ia datang tadi siang, tapi ia berubah pikiran dan memutuskan datang di malam hari, sekaligus menginap.

Ketika sudah sampai di depan kamar Monica, Vano membuka pintu. Dilihatnya Monica sedang berbaring membelakanginya.

"Ca," panggil Vano.

Tangan Vano menyentuh bahu Monica. Apakah Monica sudah tidur? Tapi ini masih terlalu awal untuk tidur.

Vano berjalan ke arah jendela, menutup gorden yang masih terbuka lebar. Dari sisi ini, ia bisa melihat wajah Monica yang tertidur.

Tiba-tiba Vano terpikir, apakah Monica sudah makan? Ia berjongkok tepat di depan wajah Monica.

Tangan Vano bergerak menyentuh rambut Monica lalu mengelusnya pelan. Harus ia akui Monica cantik saat tidur.

Vano menyipitkan matanya. Kelopak mata Monica terlihat bergerak. "Ca?"

Mata Monica terbuka. Monica menatap Vano yang persis ada di hadapannya. Wajahnya terlihat gugup dan ketakutan. 

Vano menjauhkan tangannya, menyadari bahwa ada yang aneh dengan Monica. Ia melihat dengan saksama mata Monica yang terlihat bengkak.

"Lo abis nangis?" tanya Vano. Bukannya menjawab, Monica malah terlihat ingin menangis.

Vano berdiri. Tatapannya tidak bisa lepas dari Monica. "Bangun."

Monica mengubah posisinya menjadi duduk. Vano langsung memegang kedua bahu Monica. "Kenapa?" tanya Vano. "Lo pusing lagi?"

Semakin Vano bicara, Monica merasakan matanya semakin memanas. Tidak mampu lagi menahan tangis, setitik air mata jatuh dari matanya.

Vano geram karena Monica tidak kunjung menjawabnya. "Ca!" Monica yang seperti ini hanya membuatnya semakin khawatir.

Vano menangkup pipi Monica lalu mengangkatnya ke atas. Dari tadi Monica tidak mau menatapnya. Isak Monica terdengar semakin kencang.

Tiba-tiba Monica menyentuh tangan kanan Vano yang berada di pipinya dan perlahan membawa tangan tersebut ke perutnya. Vano terlihat bingung.

Monica tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia harap Vano mengerti maksudnya karena ia tidak mampu untuk mengatakannya sendiri.

Vano terdiam, mencoba mencerna. Ia terpikirkan sesuatu, tapi tidak mungkin itu kan?

Vano kembali menangkup pipi Monica. "Bukan itu kan?" tanya Vano dengan mata yang berharap Monica menjawab tidak.

Monica menjauhkan tangan Vano. Ia mengambil sesuatu dari bawah bantal lalu memberikannya pada Vano.

Debaran jantung Vano langsung tidak karuan melihat benda pipih panjang yang dipegang Monica. Vano menerima test pack yang diberikan Monica. Ia mematung. Pregnant?

Monica mendongakkan kepalanya. Pipinya sudah basah karena air mata yang tidak berhenti mengucur.

"Kapan lo tes? Bukannya waktu itu negatif?" tanya Vano. Ia shock, namun mencoba berpikir bahwa benda ini mungkin rusak.

"Ca, jawab!" Suara Vano meninggi yang hanya membuat Monica semakin terisak.

"Tadi pagi ...," jawab Monica dengan suara bergetar.

Monica menundukkan kepalanya. Dari tadi pagi ia terus menangis. Otaknya tidak bisa berpikir apa-apa, selain khawatir, takut, dan cemas.

"Kita harus gimana?" lirih Monica.

ALGARA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang