Masih mengenakan seragam putih abu-abu. Janu melangkah perlahan melewati jalan tanah yang tidak begitu lebar, jalan kampung yang biasa dilewati oleh penduduk desa sebagai penghubung dengan desa lainnya. Ia melangkah lunglai, tatapan matanya sendu. Menyiratkan rasa duka mendalam dari hati.
Remaja berusia tujuh belas tahun itu terus melangkah, menyeret kakinya yang terbungkus sepatu lusuh berdebu, berjalan ke arah jembatan beton yang di bawahnya adalah sungai besar dan dengan arus yang lumayan deras.
Janu berdiri di besi pembatas jembatan. Ia menatap tajam ke arah derasnya aliran sungai. Dalam benaknya terbesit perasaan kecewa akan hidupnya yang tidak sebening air di bawah sana. Ia merasa jijik pada tubuhnya sendiri. Tubuh yang sering jatuh dalam pelukan satu wanita ke wanita yang lain.
Janu mengeratkan kepalan tangannya. Sudah cukup. Ia tidak mau menjalani hidup seperti ini lagi. Harga dirinya telah tercabik hancur tak bersisa. Jika sang penguasa alam tidak mau menghentikan derita ini, lebih baik dia yang menghentikan. Dia yang akan menghilangkan getir pahit hidupnya. Ketika dia lenyap dari dunia ini maka deritanya akan berakhir. Ia tak perlu menjalani ini semua.
Bayangan wajah Ibu melintas dalam benaknya. Seorang Ibu yang membesarkan anak-anaknya seorang diri, tanpa suami disisinya. Menjadi Ibu dan juga berperan sebagai seorang Ayah. Menjaga dia dan adik perempuannya.
Menjadi tulang punggung keluarga dengan tubuh rapuhnya. Hati Janu teriris jika mengingat semua kepahitan hidup yang ia lalui. Ibu akan baik-baik saja tanpanya, ada adik yang akan menjaga ibu. Ibu justru akan sangat malu bila tahu tentang putranya.
Tidak ada artinya dan tidak ada gunanya ia berada di dunia ini. Lebih baik dia menghilang. Janu mengangkat satu kakinya untuk berpijak pada besi pembatas jembatan. Lalu ia menaikkan lagi satu kakinya yang lain. Kini Janu sudah berdiri sempurna di atas pagar jembatan. Tekadnya sudah bulat ia siap terjun, menghempaskan tubuhnya ke sungai. Membiarkan tubuhnya hancur oleh batu-batu terjal yang ada di bawah sana dan akan hanyut bersama dengan deras arus sungai.
Langit mulai sore, matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Cahaya jingganya mulai menghilang di balik garis batas terbarat cakrawala. Jalan desa mulai lengang, yang sebelumnya masih tampak ada satu dua penduduk desa melewati jembatan itu sekarang sudah tidak tampak lagi. Ini waktu yang tepat, waktu yang sudah Janu tentukan. Janu merenggangkan kedua lengannya ke samping, menghirup udara dalam-dalam untuk yang terakhir kalinya.
Janu memejamkan mata, pasrah terjun bebas ke bawah. Satu kakinya siap melangkah, satu langkah yang akan membawanya dalam kedamaian. Namun, hingga beberapa detik bukan dingin air sungai yang ia rasakan, bukan juga keras bebatuan yang menyambut tubuhnya.
Seseorang menarik tangannya tepat sebelum Janu melangkah ke udara untuk terjun bebas dari pembatas sungai itu. Tubuh Janu tidak terhempas ke sungai melainkan jatuh menelungkup di atas tubuh seseorang.
"Arrrgghhh..." suara erangan kesakitan seseorang di bawah Janu.
"Cepat bangun, siku gue sakit!!"
Janu buru-buru bangun lalu duduk bersimpuh disisi remaja yang baru saja ia tindih. Janu menatap kesal dan marah. Ia sungguh merasa dirinya tidak berguna, apapun yang dia lakukan tidak pernah benar. Bahkan melakukan hal mudah saja, yaitu mati, dia pun tak mampu.
"Lo gak apa-apa?" tanya si remaja yang menarik Janu.
Janu tidak menyahut.
"Lo tadi mau ngapain??? Lo mau lompat ya tadi?"
Janu menundukkan kepala masih membisu, ia duduk dengan posisi yang tidak berubah. Remaja itu mengeratkan kepalan tangannya lalu kemudian ia mendongak, melihat ke arah remaja yang menariknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Being With You (End)
Teen FictionJanu ingin mati. Dia sudah tidak tahan menjalani kehidupan yang kerap kali menyiksa batinnya, melukai harga dirinya. Namun disaat dia ingin mengahiri hidupnya seorang cowok remaja menyelamatkannya. Bukanya berterima kasih Janu justru marah pada cowo...