Setiap orang pasti pernah berada di titik terendah, pasti pernah merasakan betapa melelahkan hidup yang ia jalani. Begitupun dengan Janu, beberapa bulan yang lalu remaja itu berada pada titik terendah yang membuatnnya hampir putus asa, bahkan remaja itu pernah hampir menyerah dengan hidupnya. Percayalah saat itu dia benar-benar lelah dan menyerah, bagi sebagian orang mungkin akan berpikir, betapa pengecutnya menyerah pada hidup sedangkan di luar sana masih banyak yang ingin memiliki kesempatan hidup untuk lebih lama lagi.
Seseorang tak akan bisa mengerti apa yang orang lain rasakan jika dia tak pernah berada di posisi orang tersebut, tidak pernah menjadi orang itu. Pun begitu dengan Janu kala itu, yang dia butuhkan adalah seseorang yang membuatnya nyaman, membuatnya tak merasa sendiri. Sekalipun tak memberikan solusi, hanya menemani dan mendengar keluhnya saja itu sudah cukup.
Beruntungnya Janu, dia dipertemukan dengan Nandes saat dia berada di titik terendah. Baginya Nandes seperti lentera, menerangi harinya yang terasa gelap. Kini Janu bisa berdiri tegak, berani mendongakkan kepala, dan menatap lurus kedepan. Ada Nandes di sisinya, menggegam tangannya, dan senantiasa berkata 'AKU ADA UNTUKMU.'
Selanjutnya hari –hari Janu lebih berwarna, dia tak seperti dulu, bibirnya kini bisa tersenyum ceria, sorot matanya tak lagi penuh luka. Namun, ritme hidup manusia selalu berubah. Entah ... apakah semua ini akan berlangsung seterusnya atau hanya tuk sementara, karena pada kenyataannya jalan hidup itu tak akan selalu indah. Terkadang pahit lalu manis, saat sudah mengecap manis bisa saja kepahitan sedang menanti di depan sana.
Pagi ini setelah berpakaian rapi, Janu menyambar tas sekolahnya lalu keluar dari kamarnya. Secara kebetulan di waktu yang sama Tante Melda keluar dari kamar. Wanita itu mengenakan daster rumahan, rambut digelung asal dengan penjepit rambut. Ia berdiri tepat di depan Janu.
"Pulang sekolah belikan obat ini di apotek," kata Tante Melda sembari mengulurkan kertas berisikan resep dokter ke arah Janu.
"Ini obat apa Tante? Tante sakit?" tanya Janu ingin tahu.
"Gak usah banyak tanya," ketus Tante Melda.
Janu terdiam tak berani bertanya lagi meski hatinya bertanya-tanya. Ia lalu melipat kertas itu dan ia masukan ke dalam saku celananya.
"Kalau gitu aku berangkat sekolah dulu Tante." Mengulurkan tangan kanan untuk berpamitan.
"Hmmm ..." gumam Tante Melda lalu menyambut tangan Janu.
Setelah mencium punggung tangan Tante Melda Janu kemudian melangkah untuk keluar rumah. Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu ketika suara Tante Melda memanggailnya.
"Janu .." panggil Tante Melda.
Janu memutar tubuhnya perlahan untuk melihat ke arah Tante Melda.
"Apa temanmu itu sudah dapat uang 50 juta, apa dia bisa menepati janjinya?"
Janu terdiam untuk sejenak, jantungnya berdebar, bertanya-tanya apakah Tante Melda akan memaksanya lagi tidur dengan wanita dewasa untuk mendapatkan uang.
"Kamu tuli ya, aku sedang bertanya kenapa kamu diam saja!" hardik Tante Melda.
"I-Iya tante dia dapat uang itu." Jawab Janu dengan suara terbata.
"Terserah kamu, kalau kamu mau jadi homo, tapi ingat jangan pengaruhi Ricky dengan keanehanmu itu. Satu lagi, aku tidak mau tahu. Gimana kamu memenuhi kebutuhan rumah, yang aku tahu meja makan harus selalu ada makanan. Apa kamu paham?"
"Iya Tante aku ngerti ..."
Mendengar jawaban Janu, wanita itu langsung balik badan, masuk kamar. Tak lupa menutup pintu sedikit keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Being With You (End)
Teen FictionJanu ingin mati. Dia sudah tidak tahan menjalani kehidupan yang kerap kali menyiksa batinnya, melukai harga dirinya. Namun disaat dia ingin mengahiri hidupnya seorang cowok remaja menyelamatkannya. Bukanya berterima kasih Janu justru marah pada cowo...