Siang itu pulang sekolah Nandes dan Janu tak langsung pulang. Dua cowok remaja itu saat ini sedang berada di gubuk dekat jembatan tempat Nandes biasa menghabiskan waktu jika ingin membolos dari mata pelajaran yang tidak ia suka, tempat Nandes berkumpul dengan dua sahabatnya untuk menghabiskan sebungkus rokok sepuas mereka. Tempat yang kini memiliki arti lebih dari sekedar markas kumpul. Adalah saksi bisu untuk pertama kalinya Nandes melihat Janu. Cowok remaja yang mampu menarik perhatian Nandes, membuat cowok itu jatuh hati, menyayangi Janu sepenuh hati.
Begitupun dengan Janu, kehadiran Nandes seolah menjadi pelita di hidupnya yang hampa. Kehadiran Nandes begitu berarti untuknya, memberi warna warni di hari-harinya yang kelam. Karena Nandes, Janu tak lagi merasa sendiri. Ia punya teman, ia punya seseorang yang bisa dijadikan tempat bersandar, seseorang yang dia sayangi dan menyayangi dirinya selain ibu dan adik perempuannya.
Dalam diri Nandes ada sosok Ayah yang hilang darinya, dalam diri Nandes ada sosok Paman yang juga hilang darinya. Bukan hal mudah kehilangan dua sosok pria yang ia kagumi sekaligus ia sayangi. Namun, kini ada Nandes, jika Janu bisa meminta pada yang Esa, izinkan ia memiliki Nandes sekarang dan untuk seterusnya. Tapi mungkinkah itu?
Janu mengusap sayang kepala Nandes yang berbaring di pangkuannya. Posisi paling Nandes suka jika berada di dekat Janu, menurut Nandes berbaring di pangkuan Janu sama nyamannya berbaring di pangkuan ibu. Cowok bertubuh atletis itu menekuk satu kakinya, kedua tangannya memegang ponsel, bermain game online.
"Ndes …" panggil Janu pelan.
"Hemm …" sahut Nandes tanpa melihat ke arah Janu. Cowok itu masih sibuk dengan permainan game-nya.
"Sebentar lagi kita akan lulus sekolah ya."
"Terus??" tanya Nandes tetap fokus pada ponselnya.
"Kamu harus rajin belajar, biar bisa masuk universitas yang bagus, bukanya kamu ingin satu universitas yang sama dengan Nadira." Menunduk untuk melihat wajah Nandes.
"Itu kan dulu, sekarang udah gak lagi, kuliah di mana aja bisa, semua itu tergantung individunya bukan tempatnya, mau kuliah di Harvard sekalipun kalau dongo ya tetap aja dongo," terang Nandes terkesan cuek.
"Kok gitu mikirnya, kalau kuliah di tempat bagus, kan nanti bisa kerja di perusahaan yang bagus juga Ndes," sahut Janu, tak sependapat dengan pola pikir Nandes.
"Siapa yang mau kerja di perusahaan sih, ogah amat jadi bawahan orang, mending buka usaha sendiri daripada kerja sama orang. Kalau usaha sendiri cepat berkembang, cepat kaya biar bisa senengin kamu. Ya kan." Nandes mendongak.
Janu tersenyum kecil, menjentik kening Nandes pelan,"Senengin Ayah dan Ibu Nandes, kok aku."
"Iya … setelah senengin mereka aku juga harus senengin kamu juga."
Janu kembali tersenyum kecil, antara naif dan terlalu optimis ternyata beda tipis. Bukanya Janu tidak mempercayai apa yang Nandes katakan, tapi Janu hanya berpikir realistis. Mana mungkin dia masuk dalam daftar orang yang harus Nandes bahagikan kelak di masa depan. Entahlah siapa yang Janu ragukan, Nandes atau justru dirinya sendiri.
"Oh ya tadi sama Nadira ngomongin apa?" tanya Janu ganti topik obrolan. Penasaran aja sama kelanjutan hubungan Nandes dan Nadira.
Nandes menekan tombol exit pada layar ponselnya. Lalu duduk menghadap ke arah janu,"Mulai hari ini aku milikmu seutuhnya," jawab Nandes sambil senyum-senyum sambil menaikkan satu alisnya.
"Kalian putus?"
Nandes mengangguk.
"Dia gak marah sama kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Being With You (End)
Teen FictionJanu ingin mati. Dia sudah tidak tahan menjalani kehidupan yang kerap kali menyiksa batinnya, melukai harga dirinya. Namun disaat dia ingin mengahiri hidupnya seorang cowok remaja menyelamatkannya. Bukanya berterima kasih Janu justru marah pada cowo...