Di sebuah taman kecil tak jauh dari pasar, dua orang selayaknya seorang anak dan ibu itu duduk berdua di sebuah kursi berbahan kayu dengan cat warna biru. Meski hari begitu panas oleh terik matahari, tapi tempat di mana mereka duduk sangat teduh karena terlindung oleh pohon besar dan rindang berdiri kokoh, semilir angin berhembus menggerakkan dedaunan, serta membuat bunga-bunga berwarna kuning dari ranting pohon gugur berjatuhan ke tanah.
Janu duduk di sisi Bu Mira, remaja itu menundukkan kepala tak berani menatap ke arah wanita yang ia panggil Ibu. Jantunganya berdegup, rasa takut menjalari hatinya. Bukan takut jika dia dihina atau dimarahi. Tak masalah bila ia harus menerima itu. Tapi Janu takut akan hal yang lebih dari sebuah luapan emosi.
"Janu ..." panggil Bu Mira dengan suara lembut.
"Lihat ke arah Ibu," pinta Bu Mira.
Perlahan Janu mengangkat kepalanya, lalu melihat ke arah Bu Mira. Janu bernapas lega, ia kembali melihat tatapan penuh kasih dari sorot mata Bu Mira yang kemarin sempat menghilang.
Bu Mira tersenyum lembut. "Gimana kabarmu?"
Sebelum menjawab Janu balas tersenyum.
"Saya baik-baik saja Bu ..."
"Ibu ikut berduka cita atas kepergian Tante kamu ya, maaf Ibu gak datang."
Janu mengangguk sambil berkata, "Gak apa-apa Bu, semua sudah berlalu saya baik-baik saja sekarang."
Sungguh Janu bisa memaklumi itu. Bagaimana Bu Mira akan datang dan mengucapkan belasungkawa jika di hari itu, dia sendiri sedang tak baik-baik saja. Wanita itu terluka dan kecewa karena melihat kenyataan tentang putra bungsunya. Anak yang ia banggakan selama ini.
"Nu ... maafkan Ibu, Ibu harus meminta orang lain untuk berbohong agar bertemu denganmu."
"Gak apa-apa, Ibu gak punya nomer HP saya, Ibu juga gak tahu di mana saya tinggal."
"Kamu gak marah kan, jangan marah juga sama teman kerjamu, karena Ibu yang maksa dia."
"Semua karena Ibu ingin bertemu denganmu tanpa Nandes tahu."
Janu kembali berdebar. Mengapa Nandes tak boleh tahu, apa sebenarnya yang ingin Ibu bicarakan. Janu bertanya dalam hati.
"Sampai hari ini, Ibu masih tidak mengerti, mengapa kalian bisa ada hubungan seperti itu. Ibu hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Tak pernah menahu tentang itu, impian Ibu adalah bisa melihat anak-anak Ibu semua hidup dengan baik. Punya pendidikan yang bagus, pekerjaan yang bagus supaya kelak jika sudah berkeluarga mereka tak perlu merasakan sulitnya hidup seperti orangtuanya."
Bu Mira berbicara sambil menerawang jauh mengingat perjuangannya membesarkan ketiga anaknya. Sedangkan Janu yang diajak bicara, hanya diam. menunggu kalimat Bu Mira selanjutnya.
"Ibu sangat hapal dengan sifat Nandes, dia anak yang paling keras kepala, semakin ditentang dia akan semakin melawan. Itu kenapa Ibu memilih berdamai dengannya, membiarkan dia melakukan apa yang dia mau, termasuk menemuimu."
"Tapi ...." Bu Mira tak langsung meneruskan kalimatnya. Wanita paruh baya itu menoleh ke arah Janu, menatap dalam-dalam mata remaja itu.
Janu menarik napas dengan tenang, menyiapkan telinga dan hatinya tuk mendengar kalimat selanjutnya di balik kata 'tapi' itu.
"Tapi, Ibu yakin kamu tidak seperti Nandes, Ibu percaya kamu lebih dewasa dari Nandes, kamu pasti bisa mengerti Ibu. Jika ... Nandes tak bisa melepaskanmu, bisakah kamu melepas Nandes untuk Ibu?"
Angin berhembus kencang membawa daun-daun dan bunga berwarna kuning dari ranting pohon berguguran tepat di atas tubuh dua orang yang sedang membisu menatap satu sama lain. Seketika dunia Janu runtuh. Lebih baik ia mendengar makian, cacian, daripada harus mendengar seorang Ibu memohon padanya. Langit perlahan menjadi gelap, awan putih berubah mendung seakan langit ikut merasakan pedih yang Janu rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Being With You (End)
Novela JuvenilJanu ingin mati. Dia sudah tidak tahan menjalani kehidupan yang kerap kali menyiksa batinnya, melukai harga dirinya. Namun disaat dia ingin mengahiri hidupnya seorang cowok remaja menyelamatkannya. Bukanya berterima kasih Janu justru marah pada cowo...