Sebenarnya hari ini Nandes itu sibuk. Dia ada jadwal mengunjungi salah satu tempat yang sudah lama dia incar. Menurut Nandes tempat itu pengguna internet-nya mulai menjamur beberapa provider berlomba memasang tower Base Transceiver Station mereka di tempat itu. Untuk itu Nandes juga melirik tempat itu untuk menjadi wilayahnya. Ia berniat membuka cabang grosir di situ, memastikan semua outlet di daerah itu mengambil barang dari gudang grosirnya. Selain memiliki tujuh outlet Nandes memiliki gudang grosir kartu perdana dan vocer kuota data.
Untuk kalangan outlet siapa yang tidak mengenal Fernandes, dia adalah pemain besar, hampir semua konter seluler yang menjual kartu dan vocer data di provinsi x ini adalah konsumenya. Mereka membeli pada Nandes dengan harga jauh lebih murah dibanding grosir lain. Terang saja karena jika gudang grosir lain mengabil keuntungan seribu rupiah per vocer atau kartu, Nandes hanya mengambil keuntungan kisaran 200-500 rupiah per item.
Dengan perbedaan harga itu tentu banyak yang memilih belanja ke grosiran Nandes. Jangan melihat angka dua ratus rupiah itu, meski hanya dua ratus rupiah tapi bayangkan jika Nandes mampu menjual ribuan vocer dan kartu dalam sehari. Tinggal kalikan saja. Itu cuan dari pejualan langsung, hitung lagi jika Nandes mampu memenuhi target penjulan yang ditentukan oleh provider. Bonus isentive-nya bisa ratusan juta, bahkan mobil.
Tentu semua membutuhkan kerja keras dan memutar otak setiap hari. Bagaimana caranya ia memperluas pasar supaya bisa menjual vocer dan kartu lebih banyak lagi perharinya. Untuk itu sesekali Nandes akan meluangkan waktu untuk keliling mencari daerah yang belum terjamah oleh pemain lain. Selain menjual secara off line,ia juga menjual secara on line. Banyak outlet luar kota yang juga belanja padanya.
Nandes duduk seorang diri di sebuah cafe tempat yang ia pilih untuk janjiian bertemu dengan dua sahabatnya. Ia memilih tempat duduk dekat jendela. Setiap duduk di tempat-tempat umum Nandes selalu memilih tempat duduk di samping jendela. Bukan tanpa alasan, dari jendela Nandes bisa melihat lalu lalang orang di luar sana. Siapa tahu saja, tanpa sengaja ia melihat seseorang yang sedang dicarinya selama ini. Walaupun tak pernah ia lihat sosok itu hingga kini, meski ratusan kali Nandes memilih duduk dekat jendela.
Nandes mengambil secangkir coffe latte yang ia pesan, menyesap kopi itu sembari menggerutu dalam hati. Sudah hampir lima belas menit ia duduk di sini, tapi dua sahabatnya belum juga kelihatan batang hidungnya. Waktu telah merubah Nandes, kalau dulu saat remaja dia sering terlambat. Terlambat bangun pagi yang pasti akan membuatnya telat berangkat sekolah. Tapi itu dulu, sekarang ia akan mengumpat jika seseorang tidak bisa tepat waktu. Buat Nandes sekarang ini, waktu itu sangat penting.
Tak beberapa lama datang dua orang pria beriringan dari arah pintu masuk cafe. Mereka adalah Alsaki dan Enda. Dua pemuda itu berjalan menghampiri Nandes.
"Sorry kita telat," kata Alsaki seraya mendudukan dirinya di depan Nandes, menyusul Enda duduk di sampingnya
Nandes menatap malas ke arah dua saabatnya itu. "Kebiasaan, gak menghargai waktu," kata Nandes sambil kembali menyesap latte-nya.
"Maaf juragan pulsa, kami berdua tidak akan mengulangi lagi." Alsaki melakukan gerakan membungkuk seolah Nandes adalah tuannya.
"Salahin ini ... ni ... kalau mau jalan lama banget siap-siapnya, kayak cewek aja." Alsaki mendorong lengan Enda yang duduk di sampinganya.
"Ya mana gue tahu kalau mau ketemuan sama Nandes, gue santai lah." Enda gak mau disalahkan. Hari ini adalah hari liburnya, mumpung libur wajar saja dia nyantai, bangun siang. Dan lagi salah Alsaki yang tidak memberitahunya kalau mereka akan bertemu Nandes pagi ini.
"Gimana kabar lo Ndes?" tanya Alsaki.
"Kayak yang lo lihat," sahut Nandes santai.
Setelah memiliki pekerjaan masing-masing mereka bertiga memang jarang bertemu. Apalagi Alsaki dan Enda kerja di luar kota. Hanya saat cuti saja mereka bisa pulang ke kota asal mereka dan bisa bertemu Nandes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Being With You (End)
Novela JuvenilJanu ingin mati. Dia sudah tidak tahan menjalani kehidupan yang kerap kali menyiksa batinnya, melukai harga dirinya. Namun disaat dia ingin mengahiri hidupnya seorang cowok remaja menyelamatkannya. Bukanya berterima kasih Janu justru marah pada cowo...