Cover image : @all_need_is (twt)
Ada satu suku di negeri Ecestarias dimana tak ada satu orangpun yang buruk rupa di antara mereka. Terkenal dengan kulit putih pucat kemerahan dan juga rambut pirangnya. Semakin terang warna rambut dan semakin cerah k...
"Kenapa kau menanyakan hal itu?" Arthur kembali melanjutkan gerakannya. Mencabut beberapa jamur di hadapannya.
"Ini sudah cukup. Sisanya biarkan dia tumbuh." Luna bangkit dari tempatnya setelah melihat jumlah jamur di nampan rotan yang ia bawa.
Keduanya melanjutkan jalan mereka. Menaiki bukit dan semakin jauh meninggalkan desa.
"Kalau kau bertanya kenapa... Sebenarnya aku sudah mencurigaimu sejak awal kami menemukanmu. Orang yang bukan termasuk ras kami tidak akan mempunyai luka seringan itu setelah jatuh dari kuda hingga sampai ke dasar jurang.
Normalnya, mereka akan patah tulang atau pendarahan. Tapi kau hanya luka karena tertusuk akar. Lalu, semalam saat aku membersihkan lukamu... Sudah tidak ada lagi darah yang mengalir. Hanya tersisa luka goresan.
Lalu... Kau memakan sup buatanku dengan lahap. Untuk orang biasa... Sup Emperian itu benar-benar hambar. Setidaknya itulah yang aku ketahui selama ini setelah keluar masuk kota.
Tapi, kalau kau memang keturunan Emperian, rambutmu sama sekali tidak seperti kami. Itu artinya... Kau sudah campuran beberapa kali, bukan?" Luna memutar tubuhnya. Memandang ke arah Arthur yang berada di dasar bukit.
Pria itu mendongak untuk melihatnya. Sejenak, ia kemudian menundukkan kepalanya.
"Aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Aku bahkan... Tidak pernah melihat ibuku yang merupakan emperian." Pria itu mengalihkan pandangannya. Wajahnya terlihat memasang ekspresi kecewa.
Suara hembusan angin terdengar seolah-olah menandakan betapa sunyinya mereka saat ini. Gadis itu menoleh ke arah lain.
"Eung... Begitu? Tapi rambutmu tetap cokelat, ya? Meski emperiannya ibumu langsung..." Ucapnya.
Menoleh sekilas lagi pada pria di belakangnya. Wajah Arthur terlihat begitu kecewa.
"Ah! Maksudku... Di desa ada beberapa yang sepertimu. Jadi kau tidak perlu merasa sungkan atau berbeda dari kami... Cepat atau lambat, ras kami juga akan musnah. Bercampur dengan kalian. Desa hanya... Seperti wadah pemurnian saja." Gadis itu kembali melangkahkan kakinya menaiki bukit.
"Didesa banyak anak-anak yang flu. Ayo segera cari obatnya!" Luna mempercepat langkahnya. Dan diikuti pria di belakangnya.
Angin berhembus semakin kencang saat keduanya tiba di puncak bukit. Pemandangan pegunungan bersalju terlihat didepan matanya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Padang Savana dengan rumput setinggi lutut seolah-olah memanggilnya untuk melompat padanya. Saat angin berhembus, goyangan rumput terlihat seperti ombak yang bergerak dengan serentak.
"Disekitar sini tidak ada penduduk yang tinggal. Kalau kau ingin berteriak itu sama sekali tidak menggangu." Gadis itu tersenyum.
Jika diingat lagi, Luna bahkan sama sekali tidak terlihat berbahaya baginya. Padahal semenjak pertemuan pertama mereka, dia selalu mencari keributan hingga Benedict naik pitam padanya.