16 •• Grandchild ••

19 11 4
                                    

Author's PoV~

Gadis berambut panjang itu mengayak biji-bijian kering di nampan bambu tempatnya menjemur. Ia menghirup sejenak aroma harum yang dihasilkan biji-bijian itu.

Aroma obat memang yang paling menenangkan dirinya saat ini. Untuk melupakan fakta bahwa dirinya kini tengah sendiri. Hanya ada suara deru air terjun yang menjadi satu-satunya teman untuk telinganya.

Setiap hari, William akan datang dengan bagian makanan untuknya. Pria itu bahkan rela memasak hasil buruannya sendiri untuk Luna. Setiap sebelum beranjak ia juga selalu bertanya setiap sebelum pergi, ingin makan apa dirinya nanti.

Suara rantai pengamanan pintu ruangannya terdengar nyaring setiap kali William datang dengan membawakannya makanan. Dan kemudian suara decitan pintu terdengar menyusul.

"Obat untuk demam sudah bisa kau bawa ke rumah, Will..." Luna memindahkan biji-bijian kering dari nampan bambu ke dalam toples miliknya.

"Ah, lalu... Kau bawakan aku tangkai bunga Fable muda? Aku bisa mengolahnya disini...." Gadis itu menghentikan ucapannya begitu menyadari bukan William yang datang mengunjunginya.

Sekujur tubuhnya kaku. Ia bahkan tak tau harus memulai darimana pembicaraannya.

"Aku bawakan kelapa. Aku dengar kelapa muda bagus untuk wanita hamil."

***

Membuka tutup peluru pada senapannya, pria itu menghela nafas. Ia masih ingat jelas bagaimana gadis berambut paling cerah diantara mereka menyarankan untuk mengecilkan ukuran peluru pada senapan mereka. Dan kini, menghasilkan suara yang nyaris tak terdengar.

Dengan begitu, musuh tak akan menyadari keberadaan mereka begitu peluru itu dilontarkan. Sampai mereka menyadari sendiri jika tubuh mereka terluka.

Bahkan, sampai beberapa bulan lamanya dia meninggalkan desa, tak ada yang dapat melupakannya.

Gadis yang setiap hari berkeliling desa sambil mengantarkan obat-obat yang diminta penduduk dan juga si jahil yang setiap hari tak ada habisnya mengerjai orang tua. Gadis itu sama sekali tak bisa dihilangkan dari pandangan seluruh penduduk.

Setiap hari, bayangannya selalu mengitari desa dengan senyumannya. Menyebrangi jembatan penghubung, memetik tanaman obat. Setiap hari bayangan itu tak pernah hilang.

"Ingat peluru istimewa yang dulu dia sarankan? Aku dengar tuan Simon sedang membuat peluru semacam itu sekarang." Hunus mendudukkan tubuhnya di samping sahabatnya. Mengulurkan nasi kepal pada pria berwajah kecil itu.

"Maksudmu peluru racun yang bisa digunakan untuk memecah pembuluh darah lawan?" Benedict memperhatikan makanan di tangannya.

Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana bentuk nasi kepal buatan gadis itu. Dan saat ini, yang berada di tangannya benar-benar berbeda. Sudah jelas itu bukan buatan orang yang sama.

"Eung. Peluru ringan dari batang pohon gweili. Yang katanya saat batang itu kering, tingkat racunnya semakin meningkat." Hunus menggigit makanannya. Lalu menghel nafas panjang. "Aku dengar pihak kerajaan sekarang juga mengembangkan senjata senapan seperti kita. Tapi peluru mereka berbeda. Mesi...u??? Mereka menggunakan benda itu sebagai pelurunya."

"Begitu?" Benedict membuka bungkusan daun pada nasi kepalnya. Menggigitnya.

"Eung. Dan suaranya lebih nyaring daripada model lama kita. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana sakit telingaku saat menggunakannya."

Seperti biasa, Hunus benar-benar membuatnya melupakan bagaimana risau pikirannya. Saat ini, keduanya bahkan sangat jarang terpisah. Setiap 30 menit sekali, Hunus akan datang dan membuatnya terus memikirkan sesuatu. Sehingga dia bisa bangkit dan perlahan melupakan apa yang membuatnya terpuruk akhir-akhir ini.

My Empress | CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang