Luna baru saja meletakkan bayinya di kotak ranjangnya. Membiarkan kedua bayi itu disana sementara dirinya mempersiapkan obat yang Darien pesan. Kemudian mengistirahatkan tubuhnya yang terasa semakin berat.
Namun sepertinya, ia belum bisa segera beristirahat begitu Darien meninggalkan rumahnya. Karena hal lain menyambutnya.
"Luna! Aku bertanya dimana simpul jarimu?"
Pertanyaan itu selalu terdengar di telinganya. Tubuhnya pegal dan benar-benar berat. Ia hanya ingin beristirahat, tapi kenapa tidak kunjung bisa?!
"Luna!"
"Kenapa kau begitu memperdulikan itu?! Itu hanya tali!" Luna benar-benar kesal hingga tanpa ia sadari suaranya meninggi.
Namun sepertinya, Benedict menanggapinya dengan salah.
"Kau memintaku mengikat jarimu saat hamil dulu, ingat?! Lalu kenapa kau sendiri yang membuangnya?!"
"Maka itu hanya permintaan konyol ibu hamil. Kenapa kau menganggapnya dengan begitu serius?"
Benedict tak percaya dengan apa yang dia dengarkan baru saja. Kedua matanya membulat dan tubuhnya tiba-tiba kaku mendengarnya karena terkejut.
"Apa katamu?" Pria itu baru saja ingin berbicara. Namun Luna sudah berjalan menjauhinya. "Luna!"
Menarik lengan gadis itu, Benedict memaksa Luna menghadap padanya.
"Apa maksudmu permintaan konyol?? Maksudmu kau meminta hal bodoh dan aku mengikutinya, begitu?!"
"Kau tidak sadar?"
Lagi. Benedict benar-benar tak tau lagi harus berkata apa pada gadis itu.
Dan Luna semakin menjauhinya. Beraktivitas seperti biasa. Membereskan toples-toples obat miliknya sebelum beristirahat.
"Kau tidur dengan Hunus?"
Pertanyaan itu membuat Luna menghentikan gerakannya. Menoleh kearahnya dengan kerutan di kening.
"Kenapa kau begitu peduli dengan hal itu?"
"Itu tidak menjawab pertanyaanku."
Menghela nafas panjang, Luna kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Ya." Hanya itu yang ia ucapkan.
Benedict sudah tau bahwa dia akan menjawab seperti itu. Namun tetap saja ia terkejut dengan kata yang ia dengar.
"Kenapa tidak sejak awal aku diberitahu?"
Hanya itu pertanyaan yang masih tidak ia mengerti. Jika saja sejak awal dirinya tau bahwa dua sahabatnya sudah pernah tidur bersama, ia tak akan seterkejut ini. Ia juga bisa lebih baik mengendalikan diri saat mengetahuiya dari orang lain.
"Itu kodrat kita sebagai kesatria putih. Bukankah seharusnya kau mengerti?"
Ya. Perasaan cintanya pada Luna benar-benar membuatnya buta dan melupakan kodratnya sendiri.
Ia menghela nafas panjang.
Tak ada gunanya. Itu tidak melegakannya sama sekali. Bahkan benar-benar membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya.
"Kapan terakhir kali?"
Namun masih banyak yang ingin ia ketahui.
Jadi, dia akan menahan. Sejatuh apapun dirinya nanti, itu urusan akhir baginya.
"Kalau aku menjawabnya, kau akan merasa lebih baik?" Luna menoleh padanya.
Mengepalkan tangannya kuat-kuat. Pria itu mengangguk. Meskipun kenyataannya, dia sama sekali tidak akan merasa baik-baik saja setelah mendengarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Empress | CIX
Fiksi PenggemarCover image : @all_need_is (twt) Ada satu suku di negeri Ecestarias dimana tak ada satu orangpun yang buruk rupa di antara mereka. Terkenal dengan kulit putih pucat kemerahan dan juga rambut pirangnya. Semakin terang warna rambut dan semakin cerah k...