Kedua kaki Benedict tersungkur di tanah melihat apa yang ada di hadapannya.
Ia terlambat.
Memperhatikan bagaimana isak tangis seorang pria berbadan jangkung yang tengah berusaha menahan aliran darah dari leher seorang gadis di pangkuannya. Pasukan istana sudah berusaha membantu dengan memberikan kain bersih untuk menghentikan pendarahan yang terjadi. Namun rupanya, luka yang diterima gadis itu terlalu dalam.
"Luna..." Pria itu berusaha menahan sakit di dadanya. Melangkah cepat menghampiri dua insan itu dengan kedua kakinya sendiri. Ia hampir tersungkur berkali-kali, namun kembali berdiri. "Luna!"
Pria berambut cokelat yang mendekap erat tubuh gadis itu menengadah. Memandang seseorang yang datang.
"Benedict!!! Benedict hentikan pendarahan ini seperti yang dilakukan Hunus dulu padaku, Benedict!!! Lakukan sekarang!!!!" Arthur sudah tak lagi kuasa menahan air matanya. Tubuhnya bergetar. Bahkan tangannya yang menyangga tubuh Luna kaku dan tak bisa ia gerakkan.
Kacau. Reuni yang ia harapkan indah, justru berakhir dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Ia memeluk gadis itu sebisa mungkin.
"Luna... Luna—" Benedict membulatkan matanya. Memperhatikan luka gadis itu. "Percuma. Lukanya lebih lebar dari jangkauan jariku."
Tangannya meraih wajah cantik gadis itu. Memaksanya menatap langsung ke arah matanya. "Luna kumohon hentikan sendiri lukamu... Kau bisa, kan??? Luna... Luna sudah cukup... Luna buka matamu dengarkan aku..."
Kedua tangan Benedict bergetar hebat saat mulai merasa putus asa dengan apa yang ada di depan matanya.
Saat kedua mata Luna terbuka, harapannya kembali timbul. Sedikit.
"Luna dengarkan aku... Hentikan pendarahanmu... Sudah cukup, Luna... Kau bisa! Luna... Luna... Brian Billy dan Bian masih membutuhkanmu... Kau tidak akan meninggalkannya begitu saja, kan??? Luna... Luna—"
"Kup..."
"Iya! Iya... Hentikan pendarahanmu!!! Luna!!!" Benedict menggenggam kuat bahu Luna yang sudah basah karena darah yang mengalir dari lehernya.
"Kuperintahkan..."
Kedua mata Benedict semakin membulat mendengar kata yang gadis itu ucapkan. Genggamannya melonggar saat mengetahui maksud gadis itu melakukan hal nekat itu.
"Tidak perintah darah, Luna... Selamatkan dirimu sendiri!!!! APA YANG KAU LAKUKAN?!!!"
"Jadilah... kalian semua... kesatria putih... dan... lahirkanlah... kesatria putih..."
"Luna henti—"
"Dan berdamailah dengan Sire..." Itu adalah kalimat terakhirnya sebelum gadis itu menutup matanya dengan senyuman puas di wajahnya.
Tak ada lagi yang bisa dihentikan.
Suara teriakan kesakitan terdengar begitu nyaring di balik punggung Benedict. Saling sahut menyahut seolah-olah merasakan rasa sakitnya yang bergilir. Tak ada yang bisa menghentikannya.
"Luna!!!" Suara seorang terdengar menghampiri mereka dengan langkah lunglai.
Seorang pria yang dalam kesehariannya selalu memasang senyuman manis itu, kini terduduk dengan wajah terkejutnya di samping Arthur.
"William—"
"Dia masih bernafas!!!" William buru-buru meraih sesuatu dari dalam saku pakaiannya. Mengarahkannya pada pergelangan tangan.
"APA YANG KAU LAKUKAN?!!!" Benedict mendorong tangan William yang hampir menyayat pergelangan tangannya sendiri. Menjatuhkan sebilah pisau batu infernum yang pria itu bawa.
![](https://img.wattpad.com/cover/266810645-288-k78892.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Empress | CIX
FanfictionCover image : @all_need_is (twt) Ada satu suku di negeri Ecestarias dimana tak ada satu orangpun yang buruk rupa di antara mereka. Terkenal dengan kulit putih pucat kemerahan dan juga rambut pirangnya. Semakin terang warna rambut dan semakin cerah k...