Kedua mata Benedict memejam. Hidung dan bibirnya menempel pada permukaan perut Luna yang buncit. Ia membelai lembut janin yang masih berada di dalam tubuhnya ibunya itu. Sejenak. Menikmati waktunya bersama darah dagingnya sendiri.
Sementara Luna hanya diam dan membiarkan pria itu melakukan sesuatu yang ia inginkan sambil membaca buku yang berada di tangannya.
"Jadi? Jam berapa kau ingin turun? Bukankah ini sudah waktunya?" Luna membalik helai kertas dari buku yang dibacanya. Melirik ke arah Benedict yang terlihat semakin menempel dengan perutnya.
"Aku sedang berfikir... Tunggu sebentar..."
Menghela nafas, gadis itu jelas tau apa yang sedang Benedict pikirkan. Tentang bagaimana caranya menghadapi musuh-musuhnya. Atau tentang cara menjelaskan pada pasukannya. Hanya dua itu.
"Kalau kau... Bagaimana caramu? Tentang kasus ini." Benedict mengangkat kepalanya. Memperhatikan gadis di hadapannya dengan wajah bingung.
Sesaat, Luna hanya bergumam panjang. Lalu mengerlingkan matanya. "Bicarakan dulu dengan Hunus... Ajak dia diskusi dan agar dia terbiasa. Dengan begitu, dia akan membantumu berbicara."
Menutup buku yang dibacanya, Luna menegakkan tubuhnya. Memperhatikan Benedict yang masih duduk di lantai sejak beberapa menit yang lalu. Tangannya meraih wajah pria itu. "Sebenarnya ini sama seperti saat kau membicarakan hantu dimalam hari. Sebenarnya tak masalah, tapi karena doktrinmu yang mengatakan hantu akan muncul di malam hari itulah yang membuatmu ketakutan. Tantanganmu adalah merubah doktrin yang sudah tertanam di dalam diri pasukan sejak lahir. Dan memang itulah bagian tersulitnya. Kau harus memaksa mereka mau dan bertahan. Kalau mereka sampai tak tahan, maka apa yang kau lakukan akan gagal.
Begitulah..." Luna mengakhiri kalimatnya dengan senyuman. Memperhatikan pria di hadapannya yang kini sedang terdiam di tempatnya.
"Begitu?"
***
Membalik helaian kertas di tangannya, Benedict kemudian melirik ke arah barisan pasukannya.
Malam ini, dia sengaja mengumpulkan seluruh anggota yang berjumlah 300 personil ke halaman desa. Ia menutup matanya sejenak.
"Kalian harus mempersiapkan diri. Karena mungkin kita akan segera berpindah tempat bermukim. Saat ini, Luna sedang membicarakannya dengan tuan William mengenai tempat itu. Yang pasti... Tempatnya cukup jauh dari sini." Pria itu menyimpan kertas-kertas catatannya. Memandang satu persatu bawahannya yang tampak terkejut.
"Musuh kita Sire." Lanjutnya.
***
Meletakkan bidak kayu yang dibawanya pada salah satu gambar peta di hadapannya. Luna memberikan tanda pada gambar yang ia maksudkan.
"Aku melihat tempat ini dari lokasi pengasingan. Dan... Kelihatannya disana wilayah kosong. Setauku disana belum ada yang mengakuinya sebagai negara manapun karena lokasinya yang berbahaya. Sehingga tak adanya yang akan mengganggu kita disana." Luna menjelaskan. Memperhatikan tiga pria dewasa di sekelilingnya.
William terlihat mengernyitkan dahi. Sedangkan Darien mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda telah memahami penjelasan gadis itu. Lalu Mercus tampak membulatkan bibirnya.
Ketiga pria itu memberikan reaksi yang berbeda dari penjelasan yang ia berikan.
"Lalu? Masalahnya hanyalah tinggal bagaimana cara kita keluar dari Sancaria. Sudah kau pikirkan?" William melipat kedua tangannya di depan dada. Memperhatikan gadis di hadapannya dengan penuh harapan.
Luna terlihat tertawa kecil. Meraih pena yang ia letakkan diatas meja, lalu menggunakannya untuk melingkari beberapa lokasi di peta.
"Aku sudah meminta Benedict untuk menanam kuncup bunga Reid di ke delapan lokasi ini. Dengan begini, kita akan pergi selamat sampai tujuan tanpa dikejar." Ucapnya yang membuat ketiga pria dewasa itu terbelalak kaget.
![](https://img.wattpad.com/cover/266810645-288-k78892.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Empress | CIX
FanfictionCover image : @all_need_is (twt) Ada satu suku di negeri Ecestarias dimana tak ada satu orangpun yang buruk rupa di antara mereka. Terkenal dengan kulit putih pucat kemerahan dan juga rambut pirangnya. Semakin terang warna rambut dan semakin cerah k...