20 •• Pengobatan ••

23 10 7
                                    

Hutan pohon raksasa akan kami ratakan. Sebaiknya kalian meninggalkan pemukiman kalian.

— Georgian Arthur von Dutch’

Meremas kuat kertas yang dibawanya, pria berambut perak itu mengeram kesal.

Ini sudah percobaannya yang kesekian untuk mengancam para ras superior itu keluar dari persembunyiannya. Tapi hingga kini, surat-surat yang ia kirimkan selalu saja kembali tanpa sampai. Atau bahkan tak pernah kembali.

Ia sudah mengorbankan banyak elang dan gagak kerajaan untuk mengirimkan surat-surat itu. Tapi hasilnya sama sekali tak pernah terlihat. Bahkan setitik pun tak nampak.

Kedua matanya kembali melirik ke arah kertas di tangannya. Keningnya berkerut.

Ia sendiri yang menulis surat-surat itu.

Tapi baru kali ini ada noda merah di sudut lipatan kertasnya. Tepat berada di tengah kertas itu.

"Darah?" Gumamnya.

Langkahnya mendekati jendela kastil ruang kerjanya. Menerawang kertas kusut itu ke sumber cahaya.

Kedua matanya membulat sempurna melihat apa yang ada di depan matanya.

Aku datang.
—Roberto Emperior’

"Akhirnya."

***

Menghela nafas panjang, Benedict menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Keringat sudah membasahi tubuhnya sejak satu jam terakhir. Setelah berjuang keras memindahkan bagian-bagian ranjang dari lantai dua ke bawah.

Karena di lantai satu hanya ada ruangan periksa beserta rak-rak kayu berisi toples obat berukuran besar, Benedict hanya menggunakan rak-rak kayu itu sebagai pengganti dinding. Memberikan ruang sendiri dengan rak itu.

"Oohhh??? Lelah???" Luna mengintip dari balik celah rak.

Gadis itu masih sibuk menata toples-toples obat miliknya kembali ke rak yang sebelumnya diturunkan agar mempermudah Benedict memindahkan rak.

"Aku sudah menyeduh teh bunga Chalist tadi... Aku siapkan, ya?" Luna meletakkan dua toples di tangannya ke rak. Melangkah mendekat ke dapur.

"Siapa yang memintamu??? Tetap duduk saja! Sudah ku bilang..." Pria itu segera melompat ke arah gadis itu. Menghentikannya yang baru saja akan menuangkan teh dari teko.

"Aaaahhh... Kau ini... Sudah kubilang tetap duduk! Biar aku saja yang melakukan pekerjaan rumah..." Ia mengintip ke dalam teko. Sudah penuh dengan teh yang diseduh disana. Ia menghela nafas kesal. "Apa-apaan ini??? Kau tidak duduk saja rupanya..."

"Itu hanya menyeduh teh, Benedict... Tidak berat sama sekali, kok..." Luna membela diri.

"Tetap saja ini tugasku! Kau duduk saja dengan tenang... Membersihkan rumah, memasak... itu tugasku semua—"

"Tidak mau! Daging masakmu keras..."

"Darimana kau tau?"

"William... Membawakannya untukku..."

"William sialan..." Pria itu meremas kuat gagang teko yang dibawanya.

My Empress | CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang