18 || 🕊️

27 7 3
                                    

Di setiap perjalanan hidup, rasanya kehilangan adalah hal yang paling menyakitkan
.
.
Syalwa Ayudia

Hari ini, tepat pukul  15:05 sore, aku kehilangan sosok yang istimewa dalam hidupku.
Meski belum lama kenal, namun rasanya Neris begitu amat ku sayang.

Tanah sudah di gali, Neris sudah di mandikan, di kafankan serta di salat kan, dan hanya tinggal di makamkan.

"Engga!!  Neris masih hidup!" teriak Adit mencegah Neris yang hendak di masukkan ke liang lahat.

"Al," panggil Adit cepat, aku menoleh padanya.

"Cepet cegah!! Lu ga mau Neris pergi 'kan?"

"Liat Al, orang gila itu mau kubur Neris, padahal Neris masih hidup."

Air mataku kembali pecah.

Tidak bisakah Adit untuk belajar mengikhlaskan ? Meski ini rasanya sangat sulit.

"Al," panggil Adit, kini ia menarik pergelangan tanganku kasar, mendorongnya ke arah Neris.

"Cepet bangunin Neris!!" Suruh Adit.

Aku menggelengkan kepala.

"Adit," panggil Gio lantang.

"Ikut gua!" Gio menarik pergelangan tangan Adit, mereka pergi jauh dari tempat ini.

Mungkin Gio berharap Adit tidak memperlambat proses pemakaman ini.

Untuk kedua kalinya, aku melihat orang yang ku sayang terkubur oleh tanah.

Pemakaman Neris kini telah selesai, tanah baru menjulang tinggi ke atas.

Aku jongkok di dekat batu nisan Neris, ikut menaburkan bunga seperti wanita paruh baya yang sejak tadi tak kunjung berhenti menangis.

"Neris, maafin Mamah," ucap wanita itu.

"Maafin Papah juga, Ris," sambung laki-laki yang ada di sampingnya.

"Tan, om," panggil ku kepada keduanya, mereka menoleh kepadaku.

"Neris punya amanah buat kalian."

"Neris bilang, jangan pernah bertengkar lagi, ya."

"Neris," panggil wanita itu.

"Apa benar yang di katakan gadis yang di depan Mamah? Kamu minta Mamah sama Papah buat engga bertengkar lagi? Baik Ris, Mamah dan Papah ga akan bertengkar lagi," ucap wanita itu.

"Tapi, kamu bangun lagi, ya." Wanita itu meminta Neris untuk bangun lagi, padahal itu semua mustahil.

"Liat Ris, liat, Papah sama Mamah ga akan bertengkar lagi, kami janji," ucap Laki-laki itu sambil menautkan tangannya dengan Ibu Neris.

"Kami sayang kamu, Ris."

Aku lihat ada penyesalan terlihat di mata kedua orang tua Neris, mungkin karena selama Neris hidup mereka lebih sering bertengkar daripada bercengkerama.

Kisah Syalwa | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang