2 || 🕊️

83 21 14
                                    

Hari itu, aku tak jadi mengakhiri hidupku, laki-laki yang datang menolongku pun tak sempat melihat wajahku secara detail karena aku langsung pergi takut dia juga justru adalah orang jahat kedua setelah Dokter Johan, namun aku sedikit ingat tentangnya, dia laki-laki yang membuatku berteduh di payungnya.

Aku berlari ke sebuah hutan yang aku tahu itu adalah tempat yang biasa anak-anak Pramuka camping, tempat yang selalu Ayahku katakan itu menyenangkan, apalagi bisa tidur di dalam tendanya. Hujan mulai mereda, aku duduk di dekat pohon besar serta rindang, sambil tetap memeluk boneka Teddy Bear pink ini.

Menatap langit yang semakin hitam, semilir angin malam membuatku semakin dingin, tak ada tempat bernaung setelah ini, mungkin keputusan untuk mengakhiri hidup adalah jalan satu-satunya agar aku bisa bertemu Ayah dan Mama.

Sudah sekitaran Lima menit aku duduk di bawah pohon ini, merasa seperti angker aku memutuskan untuk pergi dari tempat ini.

Saat sudah mulai menjauh dari hutan kecil itu, aku merasa sakit di bagian kaki kananku, dan saat ku lihat ada duri yang menancap di sana, keluar sedikit darah yang membuatku menjambak rambutku kasar lalu berteriak histeris. Aku bahkan lupa mengenakan sendal sekedar untuk menyelimuti kakiku.

"Aaaaaaaaaaa."

Ada beberapa orang yang masih berlalu lalang, hingga aku lihat seorang wanita paruh baya menghampiriku, dan menanyakan keadaanku.

"Kamu kenapa?"

Aku membisu sesaat, hanya bisa mengisyaratkan tanganku ke arah kaki, bahwa aku terluka. Wanita paruh baya yang mengerti itu hanya mengangguk, lalu ia mengambil sesuatu di dalam tasnya, ternyata itu obat yang sekarang ia berikan kepada luka di kakiku.

"Awws," ringisku

"Kamu rumahnya di mana?" tanya Wanita paruh baya yang wajahnya terlihat sangat khawatir.

"Aku ga punya rumah, aku mau mati," jawabku asal, dan memang hanya mati yang ku inginkan.

"Ga boleh ngomong kaya gitu, ikut ibu aja, yuk," ajaknya kepadaku, ia menuntun sembari menggandeng tanganku.

Kini aku ikut bersamanya, kita berhenti di salah satu rumah yang menurutku adalah rumah wanita paruh baya ini. Ia membuka pintu, lalu mengajakku masuk ke dalam rumah.

"Kamu tinggal sama ibu aja, ya." pintanya sembari tersenyum.

"T-tapi..."

"Ibu sendirian di sini, temenin ibu, ya."

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, dan sangat-sangat berterima kasih karenanya mau menampung diriku di rumah ini. Rumah nya memang tidak besar namun minimalis, aku sangat suka.

"Ma-makasih ya, Bu," balasku.

Ibu itu bernama Bu Anya, dia terlihat begitu baik, ia pun memberitahukan kepada ku kamar yang akan ku tempati, di rumah ini ada dua kamar, dan ada satu kamar yang kosong dan itu tentu akan ku tiduri selama aku tinggal di sini. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk tidur, aku membersihkan diri terlebih dahulu.

Saat sudah bebersih, aku lihat Bu Anya sedang duduk di ruang tamu sembari menonton tv, ia memanggilku untuk ikut bergabung dengannya.

"Sini cantik."

"Ah iya, ibu belum tau nama kamu, nama kamu siapa?" tanya Bu Anya.

Aku hanya cecengiran, akupun lupa memberitahu namaku.

"Syalwa Ayudia, Bu," jawabku memberitahu.

"Alwa," panggilnya.

Aku hanya mengangguk, setuju dengan nama panggilan yang Bu Anya berikan.

Kisah Syalwa | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang