2. Tekanan Hidup

34.8K 3.7K 84
                                    

"Ayu, bangun, Nduk!"

Suara lamat-lamat terdengar oleh gadis yang sedang bergelung di balik selimut. Itu suara Asri yang memanggil--ibunya. Kenapa bisa ada suara lembut itu membangunkannya? Apa ia bermimpi?

"Ayu ...!"

Kali ini diikuti dengan ketukan pintu sebanyak tiga kali. Ia menggeliat dan perlahan membuka mata. Cahaya matahari yang mengintip melalui celah  tirai jendela membuatnya memicing. Gadis dengan kaus oblong kebesaran itu bangkit lalu mengusap wajah pelan. Ia menoleh ke kiri dan kanan. Untuk beberapa detik perasaan linglung menghinggapi. Begitu suara Asri terdengar lagi, gadis itu baru ingat sesuatu.

"Ya Tuhan, iya, aku udah balik ke Jogja. Lupa!" Gadis yang disebut sebagai Ayu itu menepuk keningnya.

Ia bergegas bangkit, melipat selimut, memakai sandal busa berkepala Winnie The Pooh, dan segera menyambar handuk. Tidak, tidak. Ini bukan lagi apartemennya di Jakarta. Tinggal kembali bersama Ibu dan Ayah sama saja harus kembali menjadi anak super penurut. Bukan Asri yang terlalu cerewet mendisiplinkannya. Perempuan dengan wajah cantik khas turunan Jawa tulen itu paham Ayu bukan lagi anak kecil dan berhak mengatur hidupnya sendiri.

Pun bukan Seno--ayahnya--yang banyak berceramah dan mendikte ini itu. Tapi ....

"Anak perempuan itu jangan sembarangan. Jam segini baru bangun."

Langkah Ayu terhenti. Tarik napas, embuskan. Tarik napas, embuskan. Tidak boleh ada pertengkaran di hari pertamanya ia harus mengalah pulang ke Jogja. Gadis bercelana panjang motif kotak-kotak itu memejam sejenak.

"Iya, Eyang, maaf. Ayu baru sampai pukul 3 pagi. Ini mau langsung mandi, kok."

Asri tersenyum seraya meletakkan sepiring nasi gudeg lengkap dengan telur yang dibelah dua. Ah, andai ia tak terhalang kecerewetan sang eyang, Ayu lebih memilih mencuci muka dulu dan langsung makan.

"Buruan mandi. Kamu pasti lapar," tukas perempuan dengan rambut terkucir rapi.

Sementara sang eyang hanya membenarkan posisi kacamata dan lanjut baca koran Minggu pagi. Ayu melangkah ke kamar mandi. Mengisi penuh bak mandi sebelum akhirnya ia menanggalkan semua pakaiannya.

Terkadang gadis itu terheran. Wanita tua itu--eh, Eyang Ningsih maksudnya--selalu bersikap layaknya bangsawan. Eyang dari pihak Ayah bilang, keluarga mereka masih ada turunan darah biru atau apalah itu. Bahkan Eyang Ningsih kerap menyematkan gelar pada nama cucu semata wayangnya itu.

"Rr. Ratna Ayu Wandari," gumamnya sembari menatap cermin di dinding kamar mandi. "Hidupmu terlalu mengenaskan kalau terkekang banyak aturan  begini."

**

Pria itu mengembuskan napas lelah, melempar jas hitam ke atas ranjang berselimut cokelat muda. Ia mengamati desain kamar yang tampak cozy dengan jendela besar di sebelah kanan tempat tidur berukuran king. Ia membuka tirai, membiarkan cahaya matahari siang masuk, dan taman di halaman samping tampak.

Usai melepas dasi biru tua di leher, lelaki itu menyugar rambut ke belakang, melempar tubuh ke ranjang empuk yang menggoda hasrat rebahan.

"Ingat, seminggu tidak ada calon, Mama dan kakakmu yang bertindak."

Seminggu katanya? Memangnya cari pendamping hidup semudah beli boneka di toko mainan? Brian tak ingin salah pilih dan tak ingin berujung salah langkah hanya karena perasaan sesaat. Cukup sudah cerita sebelumnya menjadi tamparan diri. Ia hampir merusak nama baik keluarga demi merebut kembali kekasih yang telah ia telantarkan.

Oh, aku memang berengsek! Umpatnya lagi dalam hati.

Benda pipih di saku kanan celananya berdenting-denting. Ia segera duduk di tepi ranjang. Manik sehitam jelaga itu memicing begitu tahu nama pemanggil.

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang