Nana duduk manis di bangku panjang sebuah warung nasi gudeg. Ia masih setia menanti dua bungkus nasi lengkap dengan sayur nangka dan sebutir telur rebus itu usai di bungkus. Pagi ini ia memilih pulang ke rumah Asri untuk mengambil beberapa barang di kamarnya. Perempuan dengan kaus crop tee putih dan rok high waist sebatas lutut itu sudah memutuskan untuk menetap. Ya, menetap di rumah suaminya. Oh, bukan, rumah kita. Kata Brian begitu. Bibir berpulas lipstik warna nude itu tersenyum samar.
Bersamaan dengan Nana menoleh ke luar warung, pedagang sayur lewat, berhenti tepat di pelataran, berlanjut para ibu asyik berkerumun memilih bahan makanan.
"Tahu, kan, kemarin Dibyo ke rumah Eyang Ningsih. Dia marah besar sambil mondar-mandir di terasnya. Ih, serem!" Wanita berdaster batik lengan panjang memulai bercerita.
Nana tak kuasa untuk pura-pura tuli. Nama sang eyang otomatis membuat cuping telinganya mau mencuri dengar.
"Hmm, kalian enggak tahu, sih. Juragan Dibyo jelas marah. Utang Eyang Ningsih banyak. Dasar aja enggak tahu malu, mentang-mentang dulu si Ayu jadi calon mantunya, dia seenak jidat minta ini-itu."
Nana tertunduk, menggigit bibir sedikit keras begitu namanya disebut seorang ibu yang mengenakan kaus bertuliskan I Love Jogja. Cucu Eyang Ningsih itu tampak semakin gelisah karena paham ternyata selama ini keluarganya menjadi perbincangan hangat.
"Kalau dipikir-pikir, si Ayu juga mau-maunya gitu, lepas dari Damar malah rela mau dinikah sama calon mertuanya. Ih, amit-amit! Eh, jangan-jangan dia mau sama suaminya yang sekarang karena merasa hidup akan lebih enak." Ibu berdaster batik itu bergidik ngeri seraya menabokkan sebonggol jagung di atas tumpukan cabai merah, membuat sang pedagang sayur bercaping itu mendecak kesal.
"Iyalah, Bu .... Siapa, ya, nama suami Ayu? Rian, eh, Brian?"
Dua ibu-ibu yang lain mengangguk antusias.
"Brian itu anaknya orang kaya. Bakalan punya hotel berbintang di Jogja. Apalagi, sih, yang mendorong Ayu mau dinikah sama dia kalau bukan harta? Eh, kabar-kaba nih, ya, si Ayu cuma dinikah siri ...," lanjutnya dengan suara memelan.
"Nih, Yu! Sekalian bayarin utang Eyang Ningsih, ya. Utangnya masih seratus lima puluh ribu di sini." Ibu-ibu berkain jarik di balik etalase makanan itu berkata sinis, membuyarkan konsentrasi Nana.
Nana bersegera membuka dompet dari ranselnya. Sedikit gemetar karena malu, ia menyerahkan dua lembar uang merah dan bersegera pergi tanpa memikirkan uang kembalian. Perempuan yang sedang diperbincangkan itu berlari melewati pedagang sayur. Para perumpi terbengong-bengong dan sebagian merasa bersalah dengan menatap teman rumpi lainnya, cemas.
**
Lelaki itu merenggangkan dasi di leher. Ia menyandarkan punggung ke kursi berporos di balik meja kerjanya. Trias masih sibuk menata ulang laporan keuangan yang baru selesai ditandatangani atasannya.
"Tri, Nana kapan berangkat?"
Pergerakan tangan berjemari lentik itu terhenti. Bibir berpulas lipstik warna merah itu merekahkan senyum. "Ditunda, Pak. Nyonya Riani mau keberangkatan ditunda sampai resepsi pernikahan Pak Brian."
Brian mendadak menegakkan tubuh, merasa terusik rencananya berubah. Ia bisa gila mengkhawatirkan Nana diusik keluarga Dibyo sampai menunggu masa 30 hari habis. Andai ia bisa meminta Nana bersegera melegalkan pernikahan mereka di mata hukum, pasti tak segusar ini mengambil keputusan.
"Tri, kamu tahu, kan ...."
"Tenang, Pak. Saya yakin tidak akan terjadi apa-apa. Yang perlu Anda lakuka, terus bujuk dan yakinkan Nana untuk segera melangsungkan pernikahan resminya." Trias menatap lelaki yang mulai cemas itu penuh keyakinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...