8. Memberi Sedikit Kesempatan

37.7K 3.6K 97
                                    

Gadis yang mengenakan kemeja pria bermotif kotak-kotak itu mendengkus seraya menggulung lengan baju sampai batas siku. Pakaian yang tak bisa dibilang cukup kebesaran. Sangat kebesaran malah. Namun, Nana tak punya pilihan. Setidaknya memakai kemeja Brian ini lebih baik daripada ia harus mondar-mandir di dalam rumah ini mengenakan lingerie yang minim bahan dan mirip jaring ikan.

Sialan. Lelaki itu mempermainkannya sebelum 30 hari ini usai. Meski itu haknya dia, sih, batin Nana sebagai istri mengusik. Perempuan yang kini duduk di kursi santai dekat kolam renang itu menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Kekesalannya menguap begitu ponsel di saku celana pendeknya berdenting, menyampaikan sederet pesan dari Asri.

"Nduk, maaf, televisi sama sepeda motor, Ibu gadaikan dulu, ya. Butuh uang buat melunasi utang Eyang. Boleh tidak, Ibu pinjam uang lagi?"

Lemas sudah persendian Nana. Baru hari ini ia mau mulai bekerja menemani suaminya mengunjungi tempat wisata untuk Rose. Gajian saja belum, tapi Eyang sudah berbuat ulah. Ia merebahkan diri ke kursi panjang, menutup mata dengan lengan kanan yang masih menggenggam ponsel pintar di tangan.

Ya Tuhan, jangan biarkan keluarga suamiku tahu dan ikut campur perkara ini. Aku sama sekali tak ingin pernikahan ini menjadi ladang sikap keterlaluan Eyang yang tak kunjung berubah.

**

Gadis bermata bulat itu murung lagi. Nana seperti bukan Nana yang Brian kenal sejak kembali ke Jogja. Ia memang belum berani banyak tanya. Gadis yang tengah merebah sembari menutup mata itu masih menutup diri dari Brian.

Lelaki yang mengenakan kaus abu-abu dan celana training itu duduk di tepi kursi di mana Nana merebah. "Jadi ke HeHa Sky sekarang?"

Nana menurunkan lengan yang menutup mata. Perempuan berambut tergerai berantakan itu mengangguk. "Ngomong-ngomong, mm ... boleh tidak, aku minta gajiku dibayar di depan?"

Kedua alis tegas Brian terangkat. "Memangnya kenapa? Kamu lagi butuh uang?"

Nana mengibaskan kedua tangan di depan dada. "Oh, bukan, bukan begitu. Aku cuma mastiin aja kalau kerja sama kita masih berlaku, Kak."

Gadis di sisi Brian itu menurunkan kaki dari kursi. Menyugar rambut ke belakang dengan jemari sebelum berkata, "Aku ganti baju dulu kalau mau berangkat sekarang."

"Kamu kalau lagi ada masalah itu cerita, Na."

Langkah kecil kaki beralas sandal busa warna biru muda itu terhenti. Ia berbalik dan tersenyum sumir. "Bukan masalah besar, kok. Aku bisa mengatasinya, Kak. Tapi ... terima kasih, ya."

Brian mengangguk-angguk. Belum sekarang, tapi kelak kalau perempuan yang tengah berjalan masuk ke rumah itu mencari tempat bersandar, ia mau meminjamkan bahu untuknya.

**

"Jadi, untuk rombongan karyawan perusahaan Bu Rose nanti bisa kita arahkan ke lantai satu. Nah, untuk pasangan yang jadi juara di ajang kontes foto romantis bisa kita arahkan ke rooftop ini. Kayaknya Bu Rose bakalan setuju kalau konsep tempat dinner pasangannya seromantis ini, deh. Tahu sendiri, kan, Kak, Bu Rose ini paling suka sama hal-hal romantis."

Gadis itu masih membahas program wisata perusahaan developer online dating dan biro jodoh milik Rose--sahabat Brian juga. Namun, nyatanya bukan ocehan Nana yang menjadi pusat  perhatian lelaki berjaket cokelat tua itu. Ia sibuk mengamati pergerakan perempuan muda di hadapannya yang menggebu. Sesekali bahkan Nana tak segan melobi rekannya yang bekerja di sini untuk menerangkan tarif tiket masuk dan segala sarana dan prasarana lain.

"Kak, dengerin aku ngomong enggak, sih?!"

Lelaki yang sedang bertopang dagu itu terperanjat. "Iya, Na, paham. Kamu tinggal catat aja maunya Rose yang kayak apa, nanti aku minta Trias buat urus semuanya."

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang