Langkah kaki jenjang berstiletto merah terdengar mengentak-entak mantap melalui anak tangga. Perempuan berlipstik merah itu menyibak rambut panjang ikalnya ke belakang, melepas kacamata keluaran terbaru dari brand Gucci. Ia sedikit tak sabaran menggedor-gedor pintu kamar.
"Bri! Bangun! Kalau enggak dibuka ini pintu, aku panggilin buldoser sekalian buat bongkar tempat persembunyianmu, oiy!"
Ia hampir menendang daun pintu. Namun, mengingat sepatu Loubutin bersol merah yang dikenakan bukan barang murah, Tania memilih mengepalkan tangan. "Brian! Sialan banget, sih, kamu!"
Suara anak kunci diputar terdengar, berlanjut kenop pintu yang bergerak kasar. Pintu kayu jati bercat cokelat tua itu terbuka, menampilkan sosok pria berambut acak-acakan dan muka mengantuk. Sayangnya, bukan menyambut wanita bergincu merah di depannya, Brian malah kembali menelusupkan diri di balik selimut.
Napas Tania tersengal menahan emosi dengan kedua tangan terkepal. Ia berlalu mendekat ke arah jendela, membuka tirai lebar-lebar. Brian mengerang sebal seraya menutup kepala dengan bantal.
"Ya Tuhan, ini anak kurang asupan gizi seimbang, makanya jadi malas-malasan begini! Bangun!"
Tania menyibak paksa selimut tebal berwarna cokelat, mematikan pendingin ruangan agar pemilik kamar segera sadar bahwa matahari sudah semakin tinggi.
"Apa, sih, Nia? Aku udah bilang ambil cuti kerja seminggu." Brian meraih guling, memeluknya lebih intens.
"Eh, kamu kalau mau cuti liat-liat, dong! Proyek pembangunan hotel di Jogja belum juga kelar. Tahu sendiri gimana Papa kalau urusan proyek. Bawel. Capek aku bolak-balik Jogja." Tania mengempaskan bokong ke tepi ranjang.
Sebagai seorang kakak perempuan, ia sudah cukup berbaik hati ikut mengemban jatah pekerjaan Brian. Tiga hari saja cukup membuatnya pontang-panting mengingat perempuan berblazer putih gading itu sudah berumah tangga. Ia harus mengurus Sisi--putrinya--yang masih duduk di bangku SD.
Lima menit Tania mengomel ini itu. Sementara Brian hanya mendengarkan dengan enggan. "Udah ngomelnya?"
"Ck, dibilangin juga!" Tania melempar bantal ke muka malas adiknya.
"Sekarang giliran aku ngomong, nih. Sebagai kakak dengerin, deh, biar bisa kasih solusi dikit. Enggak cuma ngomel mulu."
Tania melipat kedua tangan di depan dada lalu mengangguk mantap.
"Pertama, aku masih belum bisa konsen kerja. Tahu sendiri a--"
"Baru putus cinta karena ketololanmu sendiri!" sergah Tania dengan tatapan bengis.
Brian berdecak dan kembali mengempaskan tubuh ke kasur empuk berukuran king di tengah kamarnya.
"Apa, sih, ribut-ribut?" Suara Riani--sang mama--yang baru saja tiba menginterupsi pertengkaran alot keduanya.
Giliran Tania yang berdecak kesal. Namun, melihat setumpuk foto di genggaman tangan sang mama yang baru dikeluarkan dari dalam tas tangan, membuat ia berbinar.
"Yeay! Mama akhirnya setuju juga sama ide Nia!" pekiknya seraya memeluk erat Riani.
Riani menipiskan bibir. Ia menarik kursi ke dekat Brian yang masih duduk bersandar pada kepala ranjang. Tania ikut menarik kursi. Sudah lama ia memimpikan ini. Sesuai perkataan sang papa, bahwa jabatan direktur akan dialihkan sepenuhnya pada Brian apabila yang bersangkutan sudah menikah. Tania ingin beristirahat dari urusan perusahaan yang menyita banyak waktunya bersama Sisi dan Riko--suaminya.
"Lihat ini. Mama udah cari informasi yang pas. Mereka calon mantu pilihan yang cocok buat kamu. Dari keluarga terpandang dan berpendidikan. Lupakan patah hatimu, buka lembaran baru dengan menikahi siapa pun yang pantas buat kamu. Silakan dipilih."
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romansa[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...