13. Perkara Rentenir

24K 3.4K 80
                                    

"Kamu tahu, kan, Eyang itu satu-satunya keluarga Ayah. Dia ibu dari Ayah, eyang kamu juga. Eyang sudah tua. Kita wajib menghormatinya, Ayu."

Nana meremas ujung bantal sofa di pangkuan. Selalu saja begitu. Perkara menghormati apa harus semenyakitkkan dan semenyebalkan ini?

"Ayah tahu kenapa Ayu nekat berhenti bekerja dan pulang ke Jogja?" Kali ini Nana memberanikan diri mendongak.

Asri dan Seno tampak menegang. Tak biasanya putri semata wayang mereka menatap setegas itu. Perempuan di sebelah Seno tertunduk dalam. Sebagai wanita yang telah melahirkannya jelas paham bagaimana posisi Nana. Namun, sebagai anak mantu, ia tak bisa berbuat banyak. Ia bahkan sudah berusaha ikut bekerja di toko kelontong milik istri Tuan Dibyo yang kaya raya itu. Seno juga sudah berusaha kembali berdagang bersama saudaranya. Namun, semua itu tak cukup membuat Eyang Ningsih puas.

Kondisi tubuh rentanya gampang ambruk ketika dibayang-bayangi keinginan yang kunjung terwujud. Hatinya penuh rasa iri yang tak pernah terpuaskan. Agaknya semua itu terjadi sejak toko batik peninggalan suaminya mengalami kebakaran dan habis dilalap api. Eyang Ningsih sempat mengalami stres berat dan sakit.

"Ayu capek, Yah. Ayu capek pura-pura baik-baik saja. Ayu ingin lepas dari impitan ekonomi yang terus tak kunjung cukup."

Gadis itu menelungkupkan wajah di balik telapak tangan. Ia terisak pelan lalu bangkit seraya menghapus air matanya yang bercucuran. Gadis itu tak sepenuhnya merasa bahwa Eyang Ningsih salah. Apabila ditelusuri garis kehidupan mereka, Nana paham bahwa Eyang Ningsih sedang sakit. Psikisnya terganggu dan sebagai cucu ia tak sanggup menanggungnya.

Ketukan pintu tergesa dan membabi buta itu menghentikan langkah Nana menuju kamar. Suara Eyang Ningsih menangis dan berteriak-teriak minta tolong membuat semua tergesa ke luar. Wanita berpakaian kebaya merah dan jarik batik berwarna putih dan hitam itu bersembunyi di balik tubuh Seno. Tangannya gemetar mencengkeram lengan sang putra.

Ada apa lagi ini?

Lalu kedatangan dua orang pria berbadan kekar dengan jaket kulit tanpa lengan memperjelas semuanya. Asri menyeret putrinya untuk masuk ke kamar.

"Nduk, ayo, masuk!"

Ya Tuhan, kali ini Nana yang gemetar. Keringat dingin mendadak bercucuran, napasnya tersengal ketakutan. Habis sudah riwayatnya sebagai anak gadis di rumah ini. Dengan berselimut takut ia hampir berlari ke kamar dan ingin menguncinya rapat-rapat. Namun, sentakan dua preman itu membuat Seno, Eyang Ningsih, dan Asri terjerembap ke lantai.

Nana memejam begitu lengannya dicekal tangan kekar pria-pria bajingan itu. Tubuhnya diseret ke luar rumah.

**

Usai rapat kecil dengan Arya dan jajaran direksi yang lain, Brian tergesa menuju tempat parkir. Meski jamuan makan malam sudah disediakan, ia memilih hanya menyuapkan potongan buah cepat-cepat dan beranjak. Ia tidak mau terlambat menjemput Nana malam ini.

Trias sempat menggodanya di depan Arya dan Riani. Namun, Brian hanya tersenyum sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal karena malu ketahuan tak sabar bertemu gadis itu.

Brian mendengkus sebal. Kenapa jalanan sempit ini harus banyak polisi tidurnya, sih?

Satu belokan lagi ia sampai. Nana pasti sudah menunggunya di teras rumah. Namun, bukan senyum gadis itu yang ia temui sebagai sambutan. Brian tergesa turun begitu melihat Nana dipaksa ikut dua orang pria berbadan tinggi besar dan berkumis tebal.

"Apa-apaan ini, hah?!" Brian menyentak marah dan mendorong dua pria itu untuk menjauh dari Nana.

Gadis itu beringsut memeluknya, mencari perlindungan dari preman yang kini tertawa sumbang.

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang