Extra Part (1)

38.4K 2.8K 49
                                    

"Lebay banget, ih! Kayak orang penyakitan!" Perempuan yang tengah duduk di kursi roda itu memberengut sebal.

Brian tak menyahut. Ini sudah kedua kalinya Nana pingsan dan kali kedua ini sampai dilarikan ke rumah sakit. Menginjak trimester kedua, perempuan yang kini berpangku tangan seraya pasrah itu ada-ada saja kejadiannya. Manjanya masih bisa Brian terima, tapi kekhawatirannya yang berlebihan mengenai berat badan kadang tak masuk akal.

"Nana! Ya, ampun! Kamu bikin Mama cemas. Apa kata Dokter?"

Nana tersenyum kaku. Perempuan berkucir kuda itu terlihat gelisah, membuat Brian menghela napas panjang.

"Enggak apa, Ma, cuma gula darah rendah aja," jawabnya minta permakluman.

Cuma? Kata cuma itu meresahkan. Tak biasanya seorang Nana yang doyan makan tiba-tiba mengurangi ngemil. Setiap sebelum tidur yang ditanyakan, "Aku gendutan, deh, kayaknya. Pipiku tambah tembam gini. Iya, enggak, sih?"

"Enggak, cuma makin padet aja ...." Brian hanya mengaduh ketika lemparan bantal mengenai kepalanya.

Selalu saja ngambek dan berakhir tidur membelakangi. Setidaknya di bulan keempat kehamilan Nana--dengan kondisi perut yang mulai membuncit--percekcokan itu kerap terjadi menjelang tidur. Meski sebetulnya Brian tak masalah mau istrinya berubah tembam dan bulat, ia akan tetap menyayangi perempuan itu.

"Kamu sibuk kerja, ya, Bri? Makanya istri kamu sampai enggak keurus sampai pingsan-pingsan gini." Riani berkata ketus, mengambil alih kursi roda dengan pasien yang tertunduk seraya  mengerling ke arah suaminya.

Brian mendesah panjang, menerima kemarahan sang mama yang terkadang berlebihan kalau berkaitan dengan cucu. Manik sehitam jelaga itu menatap punggung Riani yang mendorong Nana ke mobilnya. Mulai hari ini, istrinya diboyong ke rumah Kakek di bawah pengawasan Riani sendiri.

**

Perempuan yang mengenakan daster merah bermotif batik itu mengaduk susu. Sementara Brian menyesap kopi seraya duduk di kursi tinggi, Nana sudah berlalu ke kamar tamu.

"Puasa, ya, tahan, kan?" Ekor mata Riani melirik ke arah putranya. Tangan kanannya cekatan memindahkan sendok ke wastafel cuci piring lalu meletakkan susu ke atas nampan.

Kening Brian mengernyit. "Maksud Mama apaan?"

"Puasa mesra-mesrain Nana sampai benar-benar sehatlah! Jaga diri kamu, jangan macem-macem!"

Brian mengerjap menatap punggung Riani yang menjauh ke arah kamar tamu. Ia masuk mengantarkan segelas susu untuk Nana lalu kembali membawa selimut dan bantal. Dua benda itu diletakkan di sofa panjang ruang keluarga. Dari situ lelaki yang mulanya berminat menghabiskan minuman pahit itu paham maksud dari puasa.

**

Lampu tidur di nakas menyala temaram. Perempuan di balik selimut tebal itu meringkuk semakin dalam. Ia berusaha memejam sejak setengah jam lalu usai menghabiskan segelas susu pemberian ibu mertua. Sayangnya, Nana mulai merasa sepertinya Riani berlebihan.

Nana bangkit dari ranjang, menatap ponsel di dekat lampu tidur. Ia meraih benda pipih itu, menggulir sekumpupan tangkapan layar dari ponsel suaminya.

Lisa:
Malam Minggu nanti ada pesta kecil di kelab. Mau datang, Kak?

Brian:
Mm, aku pikir-pikir dulu.

Suaminya tak begitu menanggapi setiap pesan dari wanita sintal itu. Bahkan dari sekumpulan tangkapan layar obrolan, percakapan kerap berakhir tanpa balasan dari Brian. Nana bersyukur, tapi mata batinnya bekerja memupuk kewaspadaan berlebihan. Ia kerap diam-diam membuka akun-akun media sosial Lisa.

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang