Nana merutuki kebodohannya hari ini. Ia melupakan makan malam bersama Brian. Ingatan prempuan yang berlarian masuk rumah itu baru kembali ketika Tejo bilang lelaki itu mencarinya. Pun Nana tak sanggup mempersalahkan sang sopir pribadi ketika kejujuran itu tersampaikan ke telinga Brian.
Pukul setengah sembilan malam, pasti suaminya menunggu sampai bosan. Nana sudah bersiap kalau Brian marah-marah dan menudingnya tak pernah serius menjalani pernikahan ini. Sayangnya, tak ada Brian di rumah. Surti bilang lelaki itu pergi setengah jam yang lalu.
Perempuan itu melepaskan kemeja flanel yang dipakai. Ia lempar outer bermotif kotak-kotak merahnya ke sofa di ruang tengah, menyisakan tanktop putih di tubuh kuning langsat Nana. Embusan napas kasar meluncur usai ia mengusap kasar wajah berhias makeup minimalis.
Jemari Nana sigap meraih pengisi daya ponsel di nakas lalu menyalurkannya pada ponsel yang habis baterai sejak sore tadi. Ia menyalakan benda pipih itu begitu daya terisi satu persen. Sepuluh panggilan tak terjawab melalui akun WhatsApp dari Brian. Lalu ponsel itu berdenting-denting akibat hujan pesan dari suaminya.
Brian:
Lain kali kalau mau ajakin makan malam yang serius.Brian:
Jam berapa ini?Brian:
Sampai kapan aku harus mengalah dengan 2 sahabatmu itu?Nana mendesah pasrah. Ia menyandarkan punggung dengan kepala menengadah menatap langit-langit rumah.
Tidak. Mereka tak boleh bertengkar lagi. Nana menekan nomor Brian. Sekali, dua kali, sampai tiga kali tak ada jawaban, Nana mulai tak sabaran. Ia pun menelepon Trias. Selama ini sekretaris suaminya itu selalu tahu ke mana atasannya pergi.
"Mbak, Kak Brian di mana?" Tanpa salam dan sapa perempuan itu bertanya begitu telepon tersambung.
"Di proyek, Na. Kamu udah pulang?"
"Udah. Sama siapa ke proyeknya? Mbak Trias?" Nana menggigit bibir, menahan diri untuk tak bertanya yang aneh-aneh.
"Iya, mau ketemu sama desainer interior buat hotel." Obrolan terjeda lalu perempuan berusia kepala empat itu kembali bicara, "Desainer-nya cantik, Na. Masih muda lagi. By the way, kamu enggak cemburu, kan, kalau dia deket-deketin Pak Brian?"
Nana menegakkan posisi tubuh. Perkataan Trias terkesan mengada-ada. Wanita itu hampir tak pernah memanas-manasi istri atasannya seperti ini. Apa Trias sedang mengerjainya?
"Ma-masa, sih? Eh, cuma urusan kerjaan juga, enggak apa, Mbak." Nana berusaha menenangkan diri.
"Iya, cuma soal kerjaan sih, Na. Santai aja. Aku kerja dulu, ya. Entar aku sampaiin ke Pak Brian kalau kamu udah pulang. Malam, Na."
Panggilan terputus.
Tenang, Na, tenang! Selama ini Brian sudah berusaha berubah. Enggak mungkin laki-laki itu tergoda sama perempuan lain.
Sayangnya, kata batin yang berusaha menyangkal kegelisahan hatinya terpatahkan dengan sebuah foto yang baru saja dikirim Trias. Nana mengamati suaminya yang fokus menatap lembaran kertas di tangan. Andai hormon kehamilannya tak berperan, mungkin ia lebih bisa berpikir realistis. Hanya saja akhir-akhir ini hormon itu membuat kemanjaan Nana berlipat-lipat.
Nana membanting ponselnya ke lantai sampai kabel pengisi daya terlepas dan baterai terpelanting jauh dari tempatnya. Dadanya bergemuruh panas. Hanya karena si desainer membawakan jaket suaminya sudah cukup membuat Nana berpikir yang tidak-tidak. Kenapa bukan Trias saja yang membawakannya?
Tubuh si desainer itu tinggi semampai dengan stiletto merah dan rambut tergerai bergelombang indah. Sayangnya Nana tak mampu mengidentifikasi wajah perempuan itu karena mengenakan topi pelindung di area proyek dan tampak samping. Foto itu diambil dari kejauhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...