Gadis itu masih termangu duduk di lorong rumah sakit yang sepi. Sementara pria yang mengenakan kemeja putih itu masih saja berlutut di depannya sambil menggenggam erat kedua tangan di pangkuan Nana. Bagaimana mungkin Nana bisa memenuhi permintaannya kalau apa yang diminta ada sebuah komitmen?
Wanita mana pun pasti mau saja menikah. Pasti bahagia begitu ada pria baik-baik dari keluarga terpandang melamarnya. Nana selalu punya mimpi bisa menikah dan bahagia dengan keluarga kecilnya kelak. Tapi bukan dengan lelaki yang sedang memohon dengan sangat di depannya ini. Apalagi cuma buat main-main dan berspekulasi untuk masa depannya. Apa pria ini sanggup berjanji setia dengan riwayat kisah asmaranya terdahulu?
"Please, Na ...."
Sekali lagi Brian memohon. Nana menghela napas panjang. Otaknya benar-benar buntu. Mereka sedang pura-pura berpacaran dan tiba-tiba dituntut harus segera menikah di depan sang kakek yang sedang kritis dan napasnya tinggal satu-satu. Nana pun tak sampai hati menolak. Ia takut mengecewakan keluarga besar yang sudah mereka bohongi.
"Kak, ini tuh udah kelewatan. Ini masalah komitmen yang enggak bisa dipikir sekejap mata. Aku ...."
Ah, menyebalkan! Kenapa pria ini malah menatap ke dalam matanya sesendu ini?! Nana mengutuk dirinya yang tak berdaya.
"O-oke, apa jaminannya?"
Senyum di bibir Brian merekah. Lelaki itu mengeratkan genggaman tangannya. "Mintalah apa pun. Aku akan mengusahakannya," katanya mantap.
Nana tampak berpikir sejenak. "Aku mau meresmikan pernikahan ini di mata hukum setelah 30 hari ke depan."
"Memang kenapa dengan 30 hari itu? Ada apa? Besok didaftarin ke KUA juga bisa."
"Pokoknya 30 hari. Jangan banyak tanya!" tegas Nana.
Bibir pria itu mengatup rapat. Berusaha menerima dan memahami kemauan Nana.
"Aku ... mau kuliah lagi. Tolong beri aku jaminan pendidikan yang tinggi, agar bila nanti Kak Brian tidak sanggup melanjutkan komitmen ini, aku bisa berdiri sendiri."
"Susah amat, Na. Di mana-mana perempuan mintanya emas berlian, ini kenapa kamu mintanya disekolahin? Itu, sih, sama aja kamu masih harus mikir sendiri karena lanjut pendidikan." Wajah sendu Brian mendadak hilang. Ada setitik kelegaan di iris mata, tapi kerutan di kening tampak kusut menanggapi kemauan Nana.
"Emas berlian habis aku jatuh miskin, Kak. Kalau pendidikan tinggi, aku enggak bakal jatuh miskin karena masih bisa mencari pekerjaan yang layak."
Bibir merah Brian membulat, ber-oh-ria setelah paham kemauan calon istrinya. Senyum itu kembali terbit dan sialnya melihat senyum pria yang berjarak hanya satu jengkal itu tampak semakin manis. Nana berdeham sembari memalingkan wajah.
"Aku telepon Ayah sama Ibu dulu supaya ke sini sekarang." Ia buru-buru bangkit dan menjauh, meninggalkan pria yang baru saja bangkit dari berlutut.
Semoga kedua orang tuanya tidak syok mendadak karena keputusan tak terduga ini.
**
Mama dan Tania masih sesekali masih meneteskan air mata. Mereka duduk di depan ruang ICU bersama Arya. Riko memilih tetap di rumah menjaga Sisi. Brian masih duduk bersebelahan dengan Seno--ayah Nana.
"Nak Brian tahu, kan, Ayu itu putri saya satu-satunya. Apa Nak Brian mau menerima segala kekurangan dari anak saya satu-satunya?" Pria berkumis tipis itu mulai mencari ketegasan dalam diri calon suami putrinya.
Brian mengangguk. "Saya sedikit paham watak Nana selama di Jakarta. Saya akan berusaha semampunya demi kebahagian Nana."
Seno mengangguk-angguk. Ia mengembuskan napas berat. "Kelak, jika Ayu berbuat kesalahan dan Nak Brian tak sanggup lagi bersamanya, tolong kembalikan dia ke pangkuan kami dengan cara baik-baik. Tapi, sekali Ayu kembali pada kami, saya akan menahannya sampai kapan pun, dan tak akan membiarkan laki-laki mana pun melukainya lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...