Satu sentuhan lagi gadis yang sedang duduk di depan cermin meja rias itu selesai. Lipstik berwarna pink pastel di bibir mungilnya tampak serasi dengan gaun berkerah sabrina. Ia bangkit, bercermin sekali lagi untuk memastikan rambut lurusnya tersisir rapi dengan poni ke samping kanan.
"Ayu, masih lama? Udah ditunggu di depan." Suara Asri terdengar pelan di balik pintu.
Ia menghela napas panjang. Entah apa yang merasuki otaknya kemarin. Tawaran yang Brian berikan terdengar tidak masuk akal mengingat lelaki itu masih dalam masa transisi patah hatinya. Namun, mendengar penuturan runtut mengenai paksaan sang mama dan kakak perempuannya cukup membuat Brian pusing, Nana mulai iba. Selain iba, ada faktor lain yang nyatanya membuat gadis itu merasa sayang kalau menolak.
Nana meraih wedges di rak sepatu ruang tengah. Ia berpamitan sejenak pada kedua orang tua dan Eyang Ningsih yang terus memelototkan mata penuh selidik. Namun, Nana tak peduli. Toh ini juga demi memenuhi keinganan Eyang untuk membeli tirai baru. Gadis itu mendesah pasrah mengingatnya.
Ia berhenti di ambang pintu. Lelaki yang tengah berdiri di teras dan memunggunginya tampak mengenakan setelan jins hitam dengan kemeja putih pas badan. Nana berdeham, membuat Brian menoleh. Lelaki itu sempat terdiam memperhatikan gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sejujurnya ia sedikit risi ditatap seperti itu. Belum pernah ada laki-laki mana pun yang menatap takjub begitu kecuali mantan kekasihnya semasa kuliah dulu.
Nana keluar teras, meletakkan wedges ke lantai sebelum memakainya. Ia sedikit kesulitan mengenakan sepatu itu sampai Brian sukarela mengulurkan tangan, membiarkan Nana berpegangan pada telapak tangan kokohnya. Tangan lelaki berhias jam digital bermerek itu terasa hangat. Berbeda dengan jemari-jemari Nana yang mulai terasa dingin. Brian bahkan bersedia memegangi clutch hitam miliknya barang sebentar.
Kenapa dada Nana jadi menghangat diperlakukan semanis ini?
"Cuma pura-pura, kan?" tegas Nana begitu ia duduk di dalam Fortuner hitam milik Brian.
"Iyalah, mana ada aku mau pacaran sama cewek bau kencur kayak kamu?!" Brian sama menegaskan.
Sayangnya ungkapan Brian itu ditanggapi sama serius dengan penuh rasa tersinggung. "Mana ada bau kencur?! Kak Brian lupa aku ini udah lulus kuliah? Umurku juga cukup matang untuk disebut sebagai wanita!"
"Yang lagi bilangin umur siapa, sih? Aku juga tahu usiamu memang bertambah, tapi aku ragu dengan kecerdasanmu berkencan dengan pria," cibir Brian. Ia menjalankan mobil perlahan melalui jalanan kompleks yang tak begitu lebar.
Nana mendesis sebal. "Aku cukup cerdas memilih laki-laki mana yang pantas bersanding denganku. Kak Brian sama sekali enggak ada dalam list cowok pilihan."
Lelaki di sisi kemudi itu mengerling jengkel. "Kena tulah tahu rasa. Aku doain kamu jatuh cinta beneran, Na."
"Haish, jangan gitu, dong!" ancamnya seraya mengangkat clutch tinggi-tinggi berniat memukulkannya ke lengan kekar Brian.
Brian buru-buru mencekal pergelangan tangannya bersamaan mobil berhenti tepat di depan lampu merah. "Barbar bener sih, Na. Bisa bersikap kalem dikit enggak?"
Nana mengibaskan tangan dan memalingkan wajah. Namun, dari lirikan matanya, ia bisa melihat gurat senyum menawan dari bibir Brian.
Ah, sialan! Kenapa akhir-akhir ini pria ini jadi ganteng begini, sih?!
**
"By the way, kamu cantik juga pakai baju begini, Na," puji Brian berusaha tulus. Ia berucap demikian usai membukakan pintu mobil.
Nana hanya terdiam dan memalingkan wajah. Meski lampu taman rumah Kakek di halaman bersinar redup, Brian bisa melihat semu merah di kedua pipi gadis dalam genggaman tangannya. Tampak lucu dan manis kalau terlalu diamati begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...