10. Batasan

32.6K 3.4K 100
                                    

Perempuan berblouse merah marun behias kain brukat di lengan itu telaten menata makanan di meja dapur. Senyumnya tak kunjung hilang melihat menantu barunya itu tak sungkan makan. Dari rumah Handoko, Riani membawa tiga kotak makanan berisi potongan buah mangga, bubur kacang hijau, dan sup ayam hangat.

"Setahu Mama, dulu waktu hamil Brian enggak ada rasa mual segala macam. Malah nafsu makan bertambah. Apa aja jadi doyan, Na." Riani merapikan ujung blouse lalu menarik kursi ke dekat Nana untuk duduk.

"Oh, ya? Bagus dong, Ma. Tandanya sehat," timpal Nana sembari terus menjejalkan potongan mangga manis dari dalam kotak makan.

Wanita paruh baya itu tersenyum kecil. Perlahan ia merangkul bahu Nana. "Kamu ... sama Brian sebenarnya udah berapa lama saling kenal?"

Kunyahan mangga di mulut mungil gadis itu terhenti. "Kalau kenal Kak Brian, sih, udah lama, Ma. Sejak ... Kak Brian jadi pacarnya Kak Mei malah."

"Oh ...." Bibir berlipstik merah itu membulat sempurna.

Nana hampir kembali memasukkan sepotong mangga ketika Riani berucap, "Kamu doyan mangga, Na? Memang suka atau baru-baru ini?"

Dua kelopak mata Nana berkedip bingung. Ia menatap mangga pada tusukan garpu di tangan kanan. Ada yang anehkah dengan caranya makan mangga? Selama ini ia memang terbiasa antusias dengan makanan apa pun.

Riani berdeham, mengusap ujung hidungnya dengan canggung. "Oh, maksud Mama, Brian itu kan terkenal ... aduh, Mama sampai malu mau mengatakannya. Dia itu ... kalau pacaran ya ... gitu, Na."

Nana masih tak paham. Ia berusaha tenang menatap Riani yang meremas kedua tangan di pangkuan dan kembali mengunyah mangga perlahan. "Maksudnya?"

"Oh, maksud Mama ... kamu ... sama Brian waktu pacaran itu ... belum pernah, kan?"

Pernah?

Tubuh Nana menegang seketika. Gadis yang mengenakan kaus Brian itu mulai mengerucutkan pemahaman. Mangga, selama pacaran, pernah.

"Anu, Na, kamu ... enggak lagi hamil, kan?"

Oh, astaga! Kak Brian bilang apa, sih, sama Mama sampai punya pikiran begitu?

Nana tersedak potongan buah. Andai Riani tak segera menepuk-nepuk punggungnya, mungkin ia sudah mati sesak napas.

**

"Ya, enggak mungkinlah, Ma, gadis sepolos Nana melakukan hubungan di luar nikah! Mama, ih, keterlaluan nuduhnya!" Tania mengempaskan pantat ke sofa ruang santai.

Mereka masih berada di Jogja sejak Handoko sakit. Pagi ini lelaki tua itu sudah diperbolehkan pulang. Baru sampai di rumah, Handoko sudah meributkan soal Nana. Ia meminta Riani segera menilik rumah Brian dan memantau bagaimana kondisi rumah tangga mereka sebab pernikahan itu sangatlah mendadak. Lelaki itu teramat khawatir cucunya kembali berulah dan memilih mengejar teman kecilnya--Lisa.

Sejujurnya, Handoko dan Riani tak begitu suka dengan Lisa. Gadis itu banyak berubah sejak pergaulannya meluas. Apalagi ia tumbuh di luar pengawasan orang tua. Orang tua Lisa jelas sibuk mengurus bisnis dunia hiburan malam. Keluarga mereka juga hampir berantakan.

"Kamu kayak enggak kenal sama Brian aja. Enggak inget gimana dia nekat ke Mei? Duh, ingat Mei Mama jadi miris. Gara-gara itu juga Kakek jadi sering sakit-sakitan. Malu sama rekan-rekan bisnisnya, tertekan. Ampun itu anak, ih, kesel Mama!"

Riani bersungut-sungut. Ia mendadak pening. Kepalanya berdenyut mengingat kehebohan itu. Tania merangkul sang mama. Perempuan berhidung bangit khas Handoko itu melekatkan kepala di kepala Riani.

"Mama, itu udah berlalu. Mungkin kehadiran Mei itu memang dikirimkan Tuhan untuk menyadarkan Brian. Mama inget, kan, beberapa bulan Brian sampai kayak mati rasa. Hidup segan, mati tak mau."

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang