14. Menahan Diri

26.7K 3.3K 118
                                    

Wajah sembap yang terpancar di cermin membuat Nana mendesah frustrasi. Ia malu sekali hari ini. Brian sampai repot-repot melunasi utang-utang keluarganya yang lain dan terpaksa menata ulang kontrak pembangunan hotel di Jogja. Semua itu karena Dibyo yang kurang ajar. Membayangkan diseret dua preman lalu harus dipaksa menikah dengan Dibyo yang sudah beristri itu mengerikan.

Nana memutar keran air di wastafel, membasuh wajah berantakannya dengan air  dan sabun cuci muka. Ia meraih handuk dan mengeringkan wajah sembari terus menatap diri di cermin. Sebenarnya sore sebelum Brian datang menjemput, Nana sudah mandi sebersih dan sewangi mungkin, tapi ....

Astaga, gadis dengan kemeja kotak-kotak itu bahkan teramat kusut malam ini. Bau keringat dan parfum andalannya tercium memuakkan. Saking merasa gemetar karena takut, keringat di sekujur tubuh membanjir demi meronta dari seretan preman-preman itu. Mandi lagi sajalah! Putusnya dalam hati sembari melepas kancing kemeja.

Tepat begitu kancing ketiga terlepas, rasa dingin itu menjatuhi kepala Nana. Gadis itu terdiam. Ia berusaha tenang meski sesuatu di kepalanya bergerak merangkak. Itu cicak!

**

Gadis di kamar sebelah menjerit-jerit tak keruan. Brian batal melepas kemeja kerjanya dan gesit berlarian mencari Nana. Yang dicari itu keluar dari kamar mandi sambil bergerak dan melompat-lompat gelisah.

"Cicak! Cicak! Hiih, geli!"

Melihat Nana terus berjingkat-jingkat tak keruan, Brian mencekal dua lengannya. "Mana?! Enggak ada?!"

Nana terdiam. Ia melirikkan mata ke atas, perlahan menggerakkan tangan ke kepala, berniat menyentuh rambut untuk memastikan. "Di sini enggak ada?" tanyanya sambil menunjuk puncak kepala.

Brian menggeleng pasti.

Nana berbalik. "Di bahu? Di punggung? Tadi ada cicak jatuh, Kak! Sumpah, aku enggak bohong!"

Lagi-lagi lelaki yang terdiam memperhatikan Nana itu menggeleng.

Gadis itu mengibaskan kemeja, menilik ke dalam kemeja sebentar. "Masa, sih? Tadi itu ada, Kak." Ia kembali menuju kamar mandi. "Tuh, kan, di cermin cicaknya!" Nana berteriak histeris dan kembali keluar lalu bersembunyi di balik punggung Brian.

Brian berdecak pelan. Ia sudah berlari segesit ini ke kamar Nana dan ternyata cuma karena cicak!

"Cuma cicak, Na. Dipukul pakai sandal aja mati," protesnya.

"Ah, enggak mau! Aku geli! Kak Brian aja sana!" Nana mendorong punggung suaminya masuk ke kamar mandi.

Cicak itu merayap cepat ke sana kemari. Brian melepas sandap busanya, melempar tepat ke sasaran begitu makhluk berkulit dingin itu menjatuhkan diri ke lantai. Ia membungkuk, meraih sandal, dan kembali memakainya.

"Udah mati, nih," katanya sembari menarik tisu untuk meraup cicak yang ekornya patah dan membuangnya ke keranjang sampah.

Nana bergidik ngeri. "Cuci tangan, ih! Pakai sabun!"

Brian memutar bola mata, segera membuka keran, dan mencuci tangan sampai bersih sesuai permintaan gadis di balik punggungnya.

"Yaah, rambutku kena kulit cicak. Geli bersihinnya kena bekas cicak." Mata bulat Nana berkaca-kaca sambil memperkatikan rambutnya di cermin.

Brian berkacak pinggang, memperhatikan Nana yang masih menyesali jejak cicak yang tak kasatmata itu di rambutnya. Ia berdecak sedikit kesal. Perkara binatang merayap pemakan nyamuk daja seheboh ini sampai membuat dirinya jantungan, takut terjadi sesuatu pada Nana. Lelaki itu gesit mendudukkan Nana di lantai kering kamar mandi.

"Sini, aku yang bersihin. Cuma cicak, Na. Cicak sama kamu aja gedean kamu. Makan aja banyakan kamu," sindirnya sembari merebahkan kepala Nana di tepi bathtub, menguraikan rambut panjangnya dari ikatan.

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang