18. Menukar Kesetiaan

35.6K 3.4K 125
                                    

Brian membukakan pintu untuk Nana. Sebuah hunian dengan konsep back to nature tersuguh di hadapannya.

"Silakan masuk, Nyonya. Mau minum apa?" Lelaki itu berkelakar bak pelayan di ambang pintu.

Namun, Nana masih tercengang dengan semuanya. Sepanjang menuju kamar ini, ia harus melewati taman dengan jalan segatapak yang tersusun dari batu-batuan alam. Tumbuhan hijau di kiri dan kanan jalan. Tempat yang sunyi, sejuk, dan nyaman. Dinding kamar terbuat dari batu alam. Semua furniture berasal dari kayu jagi berukir yang tampak klasik.

Dan lagi ... ya Tuhan, senyum Nana merekah lebih lebar begitu menemukan ranjang berukuran king dengan kelambu putih ran di atasnya bertebaran kelopak bunga. Ia berbalik lalu memukul ringan lelaki di belakangnya dengan ransel yang dipeluk sedari tadi.

"Dari mana bisa tahu semua ini?"

Brian menahan tawa. "Kayak beginian aja mah kecil. Aku tahu kok otak perempuan macam kamu kayak apa."

Nana tertawa kecil. Ia melempar tas ke kursi di depan TV layar datar dan kembali berkeliling ruangan. Ada satu pintu yang menuju area kamar mandi. Sudut-sudut bibir gadis itu terangkat, menampakkan deretan giginya yang rapi. Nana menghampiri wastafel berwarna abu-abu. Masih dengan konsep kembali ke alam. Ujung keran dari bambu, tempat sabun dan sampo juga dari bambu. Bathtub berhias batu-batuan alam yang terisi air. Kelopak mawar merah dan merah jambu mengapung di atasnya. Lilin aroma terapi berjajar di sisi bathtub.

Nana kembali ke kamar. Ia melihat Brian hampir mengempaskan diri di atas ranjang impiannya. Gadis itu bergegas mencekal lengan pria itu.

"Jangan, dong! Aku yang pertama nyobain!"

Brian tersingkir. Nana mengempaskan diri ke atas ranjang lalu mengembuskan napas lega. Ia meraup kelopak bunga, mengendusnya sejenak. Lelaki yang sedang berdiri di sisi tempat tidur itu berkacak pinggang. Gadis itu masih memejam menikmati aroma bunga ketika Brian memilih mengungkungnya di antara kedua tangan.

"Udah puas bersenang-senang sendirian?"

Nana membuka mata, menatap pada sosok di atasnya. Bibir yang setengah jam lalu sempat melumat habis pertahanannya dan memilih mengalah berpindah tempat itu tersenyum. Senyum samar yang menawan.

"Ngomong-ngomong dua vila di kanan kiri ada yang menginapkah?" Nana membuka obrolan ringan.

Brian memutar bola matanya. Nana terlalu banyak alasan. "Enggak ada. Kosong. Kalau yang lain enggak tahu. Tapi kalau kamu mau, aku bisa minta mereka yang ada di resort ini untuk pindah."

Nana panik begitu lelaki itu merogoh ponsel di saku celana, hampir menelepon Trias. "Heh, jangan, dong! Malu, ih!" protesnya seraya merebut ponsel yang hampir menempel di telinga Brian. Ia segera mematikan panggilan.

Brian tertawa kecil sembari merebahkan kepala di bahu Nana. "Kamu tuh pinter cari alasan."

"Demi menjaga diri, seorang perempuan harus punya banyak alasan supaya laki-laki enggak mudah merenggut kehormatannya," celetuk Nana berbangga diri.

Lelaki itu kembali menyangga tubuh dengan kedua siku, menatap gadis di bawahnya dengan lembut. "Termasuk denganku juga, Na? Suamimu sendiri?"

Nana terdiam, tatapannya terpaku pada manik sekelam malam. Brian pun enggan membahasnya lebih jauh. Gadis yang semula terdiam itu memilih kembali menutup mata, membiarkan gelenyar aneh dari sentuhan hangat lelakinya di kening, turun ke puncak hidung, hingga berakhir dengan kecupan mendalam di bibir mungilnya.

Nana bisa merasakan setiap tarikan napas Brian. Mendengar setiap bisikan cinta yang lirih di telinga. Merasakan gelisah saat pria bertubuh atletis itu semakin merapatkan diri. Melucuti setiap pertahanan Nana dalam menjaga diri. Telapak tangan halus gadis itu mencoba menyesuaikan diri, sama menelisik pada setiap otot-otot lengan hingga menapak di bahu lebarnya. Lalu perlahan menelusupkan jemari pada riak rambut Brian, menengadah dan membiarkan pria itu berkelana pada ceruk leher hingga bahu terbuka perempuannya. Meninggalkan jejak basah yang menggelitik.

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang