Istri macam apa yang pukul sembilan pagi baru bangun dan suaminya sudah berangkat bekerja entah sejak kapan?
Nana mengusap wajah, menggeliat demi melenturkan persendian yang kaku usai bangun tidur. Ia masih sangat mengantuk dan kepalanya berdenyut sakit. Telapak tangan kanan gadis berpiama lengan panjang itu meraba kening. Sepertinya ia demam karena terlalu lama mandi air dingin semalam. Namun, Nana masih punya sedikit tenaga untuk sekadar bangkit mencuci muka, gosok gigi, dan mencari makanan di dapur.
Langkah pelan gadis dengan rambut tergerai sebawah bahu itu terhenti. Seorang wanita dengan rambut hampir memutih di dapur tampak sedang mencuci piring bekas sarapan.
"Eh, Mbak Nana sudah bangun? Den Brian sudah berangkat setengah jam yang lalu. Mau mandi pakai air hangat biar saya siapkan?" Perempuan tua itu bergegas hendak beranjak.
"Enggak usah, Bu. Biar nanti saya saja." Nana meraih lengan berkulit mulai keriput itu. "Maaf, Ibu ini istrinya Pak Tejo, bukan?"
"Saya Surti, Mbak, istri Pak Tejo. Panggil Surti saja," sahutnya berhias senyum ramah. Ia kembali berkutat di wastafel mencuci piring.
"Jangan, Bu Surti bahkan lebih tua dari ibu saya. Panggil saya Nana saja, Bu," pinta Nana sungkan. Bibir pucat gadis itu tersenyum kaku.
Surti mengelap kedua tangan sampai kering usai mencuci piring, menyeduhkan teh hangat, dan menyajikan setangkup roti panggang dengan selai stroberi. Nana tak begitu berselera makan pagi ini. Yang ia rasakan mulutnya terasa pahit dan ingin merebah lebih lama di atas kasur kembali. Gadis itu hanya menggigit roti dua kali dan meneguk teh tiga kali.
Surti berlalu ke laundry room, membawa setumpuk kemeja kerja Brian ke kamarnya. Nana mengekor, sedikit berbincang mengenai kebiasaan si pemilik rumah yang barangkali Nana belum begitu paham.
"Sebelum menikah, Den Brian jarang tinggal lama di sini. Paling semalam dua malam terus balik lagi ke Jakarta." Surti merapikan meja di pojok kamar Brian. Menata beberapa map yang berserakan, menumpuknya menjadi satu di salah satu sisi. Ia telaten mengelap meja berbahan kayu jati itu dengan lap basah, menghilangkan debu yang menempel.
Sementara Nana sibuk menelisik isi lemari lelaki itu. Sederet jas kerja tergantung rapi. Dalam lemari itu terdapat dua laci berisi beberapa koleksi jam tangan dan parfum yang hampir semua beraroma sama, cokelat. Di laci satunya tersusun dasi berbagai warna dan motif. Kalau boleh jujur, Nana mau mengakui bahwa pria itu suka menjaga penampilan necisnya saat bekerja. Rapi, perlente, dan elegan. Gaya yang sebenarnya tak Nana suka. Ia lebih suka Brian yang berantakan usai mandi dan wangi. Seperti saat pertama kali menyambangi rumah lelaki itu, dan berujung acara bakar-bakar souvenir pernikahannya bersama Mei yang batal.
Lagi. Kepala Nana berdenyut pusing ketika ia menengokkan kepala ke sisi kanan atau kiri. "Bu, kalau Kak Brian pulang tolong bangunin saya sebelum dia masuk rumah, ya. Saya mau tiduran sebentar."
Nana tak bisa memaksakan diri kembali ke kamarnya. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Takut pingsan di depan Surti, ia memilih segera merebah di ranjang kamar Brian. Sebentar saja, begitu membaik Nana akan bersegera kembali.
Gadis yang masing mengenakan piama itu memejam. Bahkan ia tak mampu lagi mendengar suara Surti. Wanita dengan blouse biru muda itu hanya mengiakan permintaan Nana dan keluar kamar sembari menutup pintu pelan.
Aroma parfum Brian begitu pekat melekat pada setiap sudut kamar ini. Termasuk bantal yang Nana gunakan untuk merebah juga menguarkan aroma khas pria itu. Membuat Nana semakin nyaman dan terlelap, tanpa banyak berpikir bagaimana nanti reaksi Brian ketika menemukannya tertidur di sini.
**
Lelaki di balik meja kerja itu memijit pangkal hidung. Ia melempar ponsel ke atas setumpuk map di hadapannya. Waktu jam makan siang hampir habis dan tua bangka itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Hari Bersama Nana
Romance[21+] Saking frustrasinya, Nana pernah berdoa, "Mau suami kaya raya, kerjaan mapan, punya rumah di mana-mana, Tuhan!" Doa itu terdengar. Ya, terdengar oleh pria yang sama sedang frustrasinya menjalani hidup. Tapi kenapa Tuhan memperdengarkan doa Nan...