17. Lepas Kendali

41.2K 3.4K 150
                                    

"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Ayu masuk ke ruangan Bapak malam itu sendirian."

Brian mengusap wajahnya sedikit kasar. Pikirannya kusut. Pagi ini Damar kembali datang ke kantornya. Bukan untuk urusan pembatalan kontrak. Pemuda itu justru bercerita panjang lebar tanpa Brian minta. Bercerita tentang utang Eyang Ningsih dan almarhum suaminya. Bercerita tentang Nana yang datang memenuhi undangan Dibyo mengenai pelunasan utang itu. Apa benar Nana serendah itu? Menjual tubuhnya demi melunasi seratus juta yang dipinjam sang eyang?

"Ada masalah, Pak?" Suara Trias membuyarkan kegundahan hati atasannya.

Brian menghela napas panjang. "Enggak, Tri. Kamu udah mempersiapkan semuanya?"

Trias mengangguk mantap. "Ada yang perlu ditambah lagi? Kalau ada, biar saya siapkan sekarang."

Brian bangkit dari kursi seraya meraih jas di sandaran. Ia menumpukan kedua telapak tangan sejenak di sisi meja, tampak menimbang-nimbang sesuatu. "Tolong booking vila terdekat."

Perempuan berlipstik cokelat itu tersenyum dan mengangguk patuh. Brian hampir berlalu, tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Laki-laki itu berbalik dan berkata dengan nada suara pelan, "Untuk honeymoon. Oke?"

Trias semakin tersenyum lebar. "Siap, laksanakan, Pak!"

Dengan langkah ringan Brian menapaki lorong kantornya. Ia yakin, Nana bukan wanita sehina itu dan Brian akan membuktikannya malam ini.

**

Nana tak menyangka apa yang ia inginkan benar-benar terkabul. Duduk bernaung di bawah tenda, menggenggam mug berisi cokelat panas, dan menatap hamparan air yang terbentang luas. Suara jangkrik sesekali terdengar. Lampu tumblr berwarna kuning tampak temaram terpasang di sisi-sisi tenda cokelat yang sejak Nana menapak di area ini sudah berdiri.

Wisata Taman Bambu, Waduk Sermo, tak seperti biasanya. Sunyi dan hanya ada tenda Nana dan Brian yang berdiri sendiri di dekat waduk. Padahal seharusnya tempat ini ramai pengunjung setiap harinya hanya untuk berkemah.

Gadis berjaket parasut warna krem itu menoleh ke samping kiri. Memandangi pria yang mengenakan jaket senada dengan milik Nana. "Ini pasti kerjaan Kak Brian," tudingnya telak.

Lelaki yang sedang meneguk sekaleng minuman bersoda itu menoleh. Ia mengedik tak peduli. "Yang penting sesuai keinginanmu."

Nana terkekeh. Malam ini Brian tampak santai. Nana suka rambutnya yang sengaja ditata berantakan. "Dikemanakan pengunjung yang lain malam ini?"

"Aku usir. Demi membuatmu senang, aku rela mengusir mereka." Brian tertawa renyah.

"Jahat!" kelakar Nana. Ia yakin lelaki ini sudah meminta Trias menyiapkan kejutan ini. Brian punya banyak uang yang memudahkan segalanya.

Keheningan mengisi beberapa saat. Brian sibuk memandangi bayangan rembulan di atas permukaan air. Sementara Nana terpaku memperhatikan pria di sisinya.

"Kok, Kak Brian kayak bukan orang yang aku kenal, ya?" Nana kembali bersuara.

"Maksudmu?" Brian menggeser posisi duduk, sedikit memiringkan tubuh menghadap gadis di sisinya.

"Aku pikir dulu Kak Brian itu pelit, emosian, suka minum, suka ... main perempuan." Tudingan terakhir, Nana memelankan suara. Gadis berambut tergerai itu meletakkan mug ke meja lipat di depannya lalu memasukkan kedua tangan ke saku jaket.

Brian tersenyum kaku. "Siapa yang bilang? Mei atau Rose?"

Nana menggeleng. "Cuma menurut penilaianku, sih."

"Kalau pelit yang kamu maksud tentang sengketa hak milik apartemen, wajar kamu menilaiku begitu. Meski enggak sepenuhnya benar." Brian sama merangsekkan tangan ke saku jaket.

30 Hari Bersama NanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang